“Abah itu Superman.” Saya ingat betul ucapan itu. Saya sampaikan dalam sebuah wawancara televisi sekian tahun yang lalu, ketika ada liputan keluarga saya terkait Abah saya.
Saya lalu menjabarkannya: Menurut saya, “berkah” utama dari Yang di Atas untuk Abah saya bukanlah kecerdasannya. Kekuatan utama Abah saya adalah ketahanan fisiknya.
Cerdas, kalau fisiknya lemah, hanya bisa berfungsi sekian waktu. Abah begitu kuat secara fisik, dia bisa terus menggunakan kemampuan berpikirnya sepanjang waktu. Ketika orang lain tidur dan menghentikan kegunaannya sementara, Abah masih melek dan berfungsi, terus berguna untuk banyak orang.
Tidak banyak orang seperti ini. Yang begitu kuat, tidak bisa lelah berpikir dan berbuat. Dan Abah melakukan ini seumur hidupnya. Bayangkan, selama puluhan tahun di masa “emasnya,” dia paling hanya tidur empat jam sehari!
Kekuatan fisiknya mampu mengimbangi kemampuan berpikirnya.
Karena itu, saya tegaskan, Abah saya itu Superman. Di komik ada Clark Kent, di keluarga saya ada Dahlan Iskan.
Minggu lalu (10 Januari), kabar itu menyebar ke mana-mana. Abah saya positif Covid-19. Apakah kami terkejut? Antara ya dan tidak. Terkejut, karena dari kami semua, justru Abah yang “kena” duluan. Tidak terkejut, karena virus ini sudah begitu ke mana-mana, sudah begitu lama kami bicara kalau virus ini “sudah semakin dekat.”
Sejak pandemi ini dimulai, saya dan adik saya (Isna), serta keluarga kami masing-masing, sudah punya kesepakatan tidak terucap: Bahwa yang paling harus diproteksi adalah Abah dan Ibu.
Karena itu, sejak pandemi dimulai, kami termasuk jarang bertemu langsung dengan Abah dan Ibu. Kalau berkunjung ke rumah mereka, termasuk hati-hati dalam menjaga jarak. Walau sebenarnya tidak hati-hati juga, karena cucu-cucu sering ke sana, dan cucu-cucu pasti bersama kami di rumah.
Dari semua, saya seharusnya paling berisiko. Selain masih beraktivitas, saya juga sangat rutin gowes. Bahkan, karena pandemi membuat saya tidak traveling sebanyak sebelumnya, gowesnya jadi lebih rutin lagi.
Karena itu, saya termasuk paling rutin dites di keluarga saya. Ikut protokol tim sepak bola yang saya kelola, kalau mereka tes, saya juga tes. Kantor lain saya juga menjaga protokol. Malah di kafe dan galeri sepeda, karyawannya dites sangat rutin (bikin karyawan tegang hampir setiap dua pekan). Kalau ke Jakarta saya naik mobil, tidak naik kendaraan umum.