Oleh : Irma Faryanti
Member Akademi Menulis Kreatif
Kabut duka masih menyelimuti negeri ini, wabah yang melanda hampir satu tahun lamanya, masih enggan beranjak dan menghilang. Bahkan kian hari perkembangannya semakin memburuk, korban yang berjatuhan pun semakin tak terkendali. Mulai dari masyarakat biasa, elit politik, tokoh keagamaan bahkan tenaga medis pun tidak luput dari merajalelanya virus ini.
Tercatat dari awal pertama virus ini tersebar di Indonesia sejak bulan Maret hingga Agustus 2020, total kasus Covid-19 mencapai 162.884 orang. Tenaga medis yang telah menjadi korban pun mencapai 504 orang, yang terdiri dari 237 dokter, 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, dan 10 tenaga laboratorium medis. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI), Adib Khumaidi. Ia mengatakan bahwa kematian tenaga medis di Indonesia adalah tertinggi se-Asia, dan masuk lima besar di dunia (kompas.com 2 Januari 2021)
Kepada media Adib juga menyatakan bahwa selama Desember 2020, menurut catatan PB IDI tenaga medis yang meninggal akibat Covid-19 telah mencapai 52 orang. Sebuah angka fantastis yang naik lima kali lipat dari sejak pandemi dimulai. Adapun kenaikan yang terjadi tidak lain disebabkan oleh akumulasi meningkatnya berbagai aktivitas yang terjadi selama liburan, pelaksanaan pilkada, juga kumpulan bersama teman dan sanak saudara.
Dilansir dari TEMPO.CO, (3/12/20) Firdza Radiany selaku Inisiator Pandemik Talks menyatakan bahwa melonjaknya jumlah tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 lebih besar dibanding 6 negara di Asia Tenggara seperti: Singapura, Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos dan Brunei. Firdza juga berpandangan bahwa melonjaknya angka kematian tenaga medis menunjukkan buruknya penanganan pandemi di negeri ini, tingkat penularannya masih bertahan di 14-15 persen pada beberapa bulan ini, padahal standar yang ditetapkan WHO maksimal hanya 5 persen saja.
Inilah gambaran lemahnya sebuah negara penganut kapitalis dalam mengurusi urusan rakyatnya yang tengah dilanda pandemi. Betapa harga nyawa seseorang begitu tidak berarti hingga terabaikan. Dalam sebuah negara kapitalis, hubungan penguasa dan rakyat tak ubahnya seperti penjual dan pembeli, alih-alih memberi pengayoman tapi yang ada justru sikap perhitungan terhadap rakyatnya.