Salah satu desa yang menjadi basis penelitian adalah desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri yang terletak pada ketinggian 600 m di permukaan air laut (detail dapat dilihat dalam Gambar 1). Kenampakan perbukitan dengan tanah terasereng diselingi dengan vegetasi yang lebat serta penggunaan tanah tegalan yang dominan, menjadi pemandangan yang melankolis bagi petualang dan orang yang selalu memahami nikmat Allah.
Keberadaan goa sekaligus sungai bawah tanah dalam gambar 3 tersebut menjadi sumber air alami kemudian dimanfaatkan penduduk menjadi sumber air untuk kebutuhan domestik terutama pada musim kemarau. Sungai bawah tanah di daerah Pucung kecamatan Eromoko setelah dilakukan penelitian oleh mahasiswa pecinta alam Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mendapat bimbingan yang insentif dari para dosen seniornya ternyata memiliki potensi air baik kuantitas maupun kualitas yang memadai untuk dikonsumsi masyarakat. Sungai bawah tanah ini pada musim kemarau memiliki debit air yang cukup besar yaitu 2 liter per detik pada puncak musim kemarau yang mampu untuk untuk mencukupi penduduk satu desa.
Berdasarkan data hasil penelitian tersebut maka air sungai bawah tanah layak dikonsumsi dengan catatan kita ambil pada jarak kurang dari 200 m dari mulut goa (lihat tabel kualitas air tanah) agar tidak tercermar bakteri coli dan syarat yang kedua bila ingin dikonsumsi harus dimasak dan diendapkan agar bebas kuman serta tidak terjadi penimbunan kapur.
Maka dengan kolaborasi Pemda Wonogiri dan Dewan dakwah Jawa Tengah sebagai penyandang dana, kemudian Pemdes Pucung sebagai supporting dana dan sumberdaya manusia yang menggerakkan warga untuk menyelesaikan sarpras dan instalasi. Kearifan lokal masyarakat desa Pucung yang berupa gotong royong, saling tolong menolong tanpa membedakan predikat sosial dalam masyarakat, kearifan lokal dalam bentuk lain seperti penyediaan pipa pralon untuk penyalur air dan perbaikan jalan menuju bak penampung, merupakan sumbangan yang berarti dalam mewujudkan distribusi air sungai bawah tanah hingga ke rumah warga. Ini sebagai bukti kesadaran kritis masyarakat pegunungan untuk melakukan aksi mitigasi bencana kekeringan baik mitigasi structural maupun non structural.