Kedelai Mahal Swasembada Pangan Hanya Janji Sensasional

Kedelai Mahal Swasembada Pangan Hanya Janji Sensasional
0 Komentar

Oleh : Ummu Khansa

Pemerhati Pendidikan, Ibu Rumah Tangga

 Awal tahun 2021, emak-emak di Indonesia dikejutkan dengan langkanya tahu dan tempe di pasaran. Sumber protein nabati yang menjadi andalan rakyat miskin untuk menjaga kecukupan gizi kini telah menjadi barang langka, kalau pun ada, harganya naik. Bila dikalkulasi rata-rata kenaikan harga tahu dan tempe bekisar antara 20%. Melonjaknya harga makanan wong cilik ini disebabkan bahan baku utamanya yaitu kedelai mengalami kenaikan di pasar global.
Dilansir dari prfmnews.id, kenaikan harga kedelai berimbas pada produksi tahu di Kabupaten Bandung. Salah seorang pengrajin tahu di Desa Gajah Mekar, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung mengaku terpaksa berhenti memproduksi tahu dikarenakan harga kedelai yang mencapai Rp.9.500 per kilogram.
Selama ini produsen tempe dan tahu sangat bergantung pada kedelai impor. Hal ini disebabkan produksi kedelai hanya mampu mencukupi 30 % kebutuhan kedelai di dalam negeri, maka 70% sisanya adalah impor. Kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton pertahun sedangkan produksi kedelai dalam negeri hanya mencapi 800 ribu ton per tahun (https://money.kompas.com, 03/01/2021).
Pada akhir tahun 2020 terjadi kenaikan permintaan kedelai dari Cina kepada Amerika Serikat. Negeri tirai bambu itu memesan kedelai sebesar 30 juta ton, dari sebelumnya hanya 15 juta ton. Menurut S&P Global Platts, China menjadi pembeli kedelai Amerika Serikat (AS) terbesar pada 2020-2021, yakni menghabiskan 58 persen dari total ekspor kedelai AS. Permintaan besar-besaran Cina pada AS menyebabkan kenaikan harga kedelai pada pasar global sebesar 6% dari harga awal US$ 435 menjadi US$ 461 per ton (https://bebas.kompas.id, 05/01/2021).
Perdagangan bebas dan ketergantungan Indonesia pada impor kedelai menyebabkan pemerintah tidak sanggup untuk memproteksi harga bahan pangan di dalam negeri. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengungkapkan bahwa  kondisi ini merupakan efek dari kebijakan pasar bebas sejak tahun 1995 saat Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dan ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) IMF pada tahun 1998. Kondisi saat ini ketergantungan impor kedelai menjadi sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan kedelai nasional. (https://industri.kontan.co.id).

0 Komentar