Presiden Joko Widodo telah mengetahui permasalahan ini, pada tahun 2014 saat memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, presiden mengungkapkan bahwa ia memberikan waktu tiga tahun kepada menteri pertanian untuk merealisasikan swasembada pangan (https://money.kompas.com, 04/01/2021). Akan tetapi hingga lewat masa periode pertama dan memasuki periode kedua target tersebut belum terpenuhi, yang terjadi malah produksi kedelai nasional terus mengalami penurunan, pada Oktober 2019 produksi kedelai lokal hanya mencapai 480.000 ton menurun dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 982.598 ton (https://bisnis.tempo.co, 06/01/2021).
Laporan Global Food Security Index (GFSI) tahun 2019 menunjukkan Indonesia tercatat berada pada peringkat ke 62 dari 113 negara yang dinilai keamanan pangannya. Skor kualitas dan keamanan pangan di Indonesia menunjukan angka 47,1 yang menunjukkan ketahanan pangan masih menjadi persoalan serius yang belum terpecahkan dengan tuntas. Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2018 Terdapat 88 daerah yang rentan rawan pangan, dan rata-rata berada di wilayah timur Indonesia.
Data dan fakta di atas menunjukan bahwa hanya pemilik modal besar yang dapat menikmati sumber daya. Konsep perdagangan bebas menyebabkan pasar rakyat kecil harus terkena imbas kondisi pasar global. Cita-cita swasembada pangan masih sebatas angan-angan. Nampaknya kita harus belajar bagaimana Islam mewujudkan kemandirian pangan.
Islam memiliki konsep dan metoda dalam merealisasikan ketahanan pangan. Pangan merupakan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi per individu. Islam menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, dapat dihidupkan oleh siapapun dengan cara menjadikannya lebih produktif, dan tanah itu menjadi hak milik orang yang menghidupkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
“Siapa saja yang telah menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR.Tirmidzi, Abu Dawud).
Siapapun yang memiliki tanah jika ia telantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Tanah tersebut akan diambil oleh negara dan didistribusikan kepada siapa pun yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Konsep seperti ini sangat cocok di Indonesia, mengingat Indonesia adalah wilayah yang subur, akan sangat disayangkan jika banyak lahan pertanian yang seharusnya produktif malah menjadi tanah yang mati karena tidak ada yang mengelola.