Pegunungan kapur atau yang dapat disebut kawasan karst seperti yang ada di Pegunungan Kendeng Utara merupakan salah satu “tandon raksasa air bawah tanah”. Uniknya, Kawasan karst ini kelihatan kering dipermukaan, tetapi sebenarnya merupakan daerah yang sangat potensial dalam fungsinya untuk menahan air hujan dan secara alami mengeluarkannya sebagai mataair ataupun sungai dari dalam gua. Artinya, kawasan karst memegang peran yang sangat tinggi untuk tata kelola air alami suatu kawasan. Fungsi kawasan karst yang vital ini dapat hilang akibat pertambangan batugamping yang merusak permukaan karst sebagai daerah tangkapan hujan dan berganti menjadi agen pemercepat air permukaan menuju kawasan hilir, dan ini berarti meningkatkan potensi banjir.
Pengelolaan tata ruang berbasis mitigasi bencana saat ini merupakan suatu keharusan seperti yang diamanatkan dalam undang-undang No 26 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Ruang. Alih fungsi lahan dan peruntukan lahan yang tidak sesuai merupakan salah satu investasi bencana, padahal mestinya kita berinvestasi untuk pengurangan risiko bencana. Hulu misalnya di Pegunungan Kendeng dan Gunung Muria, kegiatan penambangan dan penggundulan hutan masih marak terjadi. Ketika hujan terjadi, tidak ada penahan sementara berupa hutan maupun kawasan karst yang akan menahan air dan meloloskannya ke dalam tanah sehingga sebagian besar air akan terakumulasi ke sungai, dan sungai mempunyai kapasitas tampungan masing-masing dan apabila kapasitas terlampaui, terjadilah banjir.
Selain alih guna lahan yang tidak sesuai, ada hal yang sangat perlu diulas lebih dalam, ialah “hutang terhadap air”. Sudah disebutkan sebelumnya, bahwa siklus hidrologi adalah seperti lingkaran sempurna yang berlangsung terus-menerus dan tidak bisa diputuskan.
Air harus menguap, baik air yang ada di laut, danau, sungai maupun yang ada di tanaman, uap-uap air harus mengalami kondensasi dan menjadi awan, awan harus mengalami presipitasi (hujan), air yang jatuh ke bumi sebagian akan mengalami infiltrasi (meresap ke dalam tanah) sebagian lagi akan mengalir mencari tempat yang lebih rendah yaitu kembali ke laut, ini merupakan suatu keharusan, sunnatullah.
Namun manusia sering tidak memperhatikan suatu keharusan ini dengan tidak memberikan ruang untuk air agar dapat meresap ke dalam tanah. Rumah-rumah, gedung-gedung, dan bangunan-bangunan lainnya milik manusia hampir seluruhnya hanya membuatkan jalan air untuk mengalir ke selokan, selokan ke sungai, sungai ke laut. Padahal kondisi ini pastinya akan memendekkan waktu air mengalir dan memperbesar beban daerah bawahnya menampung volume air. Membangun suatu bangunan, artinya manusia mempunyai hutang pada air untuk masuk dan meresap ke dalam tanah. Hal yang terlihat sepele seperti inilah yang sering manusia lupakan, bahwasanya ada hak air yang meresap ke dalam tanah dan nantinya secara alami dan perlahan keluar menjadi mataair atau mengisi akifer di dalam tanah.