Memaknai Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Bagian Ke Empat “Putu Wijaya”

0 Komentar

Adil bagi Basuki -guru agama atau Sarwini si tukang sayur atau tukang sol sepatu adalah sederhana. Kita tidak saling ganggu, kita saling menolong dalam kesulitan, bersama dalam bahagia, saling menghargai, tidak mementingkan kepentingan sendiri dan tepo seliro/tenggang rasa. Bebas berusaha tanpa takut ada intimidasi dari siapapun dan gampang nyari rejeki. Dan tak di diskriminasi oleh siapapun. Laki-perempuan, beda agama, kaya-miskin,rakyat biasa atau pejabat punya hak hukum yang sama dan kewajiban yang proporsional. Adil bagi rakyat banyak adalah penguasa tidak oleng ke kiri dan ke kanan (tawasuth), tergiur suap berlabel keserakahan dan kepentingan. Dan tetap lurus meniti jalan untuk melayani dan menghamba kepada kepentingan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat (I’tidal). Adil juga tak disesatkan karena beda cara ibadah dan keyakinan.

Sederhanakan?

Sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, bukan saja untuk penguasa. Namun rakyat pun harus bersikap dan berbuat adil. Tidak bisa keadilan disematkan hanya untuk penguasa. Walau pada akhirnya penguasalah pengemban utama untuk menegakkan keadilan.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu, ketika akses ekonomi,sosial, politik, budaya dan pendidikan terpenuhi secara proporsional untuk rakyat. Bisakah para pengkhutbah serta penguasa mewujudkan itu? Adakah keteladanan dalam hal mewujudkan keadilan? Bisakah kita sebagai rakyat biasa juga berbuat adil? “Tanyakan pada rumput yang bergoyang”, kata Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far atau Ebiet G Ade. Mari kita renungkan. Salam Kang Marbawi.

Laman:

1 2 3
0 Komentar