Ia terus berkarya membuat lagu hingga akhir hayatnya. Terakhir lagu ia ciptakan yaitu “Duriat Saliwat” dan “Ngiring Bingah”. “Saya sendiri juga sering membawakan lagu-lagu ciptaan Ibunda Cicih,” tutur Cineur.
Pada umumnya para seniman tempo dulu, kental dengan praktik ritual khusus. Cicih juga memiliki ritual khusus untuk menciptakan lagu. Diceritakan Cineur, ketika hendak membuat lagu, Cicih selalu meminta diantarkan ke tempat-tempat khusus yang jauh dan sunyi. Seperti ke sebuah hotel di kota yang ia inginkan. Tidak seorang pun yang diizinkan untuk mendampingi. Di tempat sunyi itu, Cicih latihan olah vokal dengan nada Da-Mi-La-Ti-Da. Cicih juga rajin menjaga kualitas suaranya dengan metode gurah.
Metode gurah sudah dikenal sejak zaman kerajaan. Yaitu cara menggunakan lendir dari tenggorokan menggunakan ramuan alami. Di kalangan warga Jabar, sering menggunakan sari rendaman akar tanaman senggugu.
Setiap lagu yang diciptakan, mengandung arti dan sejarah nyata di kehidupan manusia. Karena kiprahnya yang gemilang pula, Cicih pernah mendapat julukan Juru Kawih Legendaris dari Bupati Subang Eep Hidayat.
Di usia yang mulai senja, Cicih menyadari pentingnya regenerasi. Ia kemudian mengizinkan anaknya, Agustini Setiawati yang kemudian dijuluki Teh Cineur Cangkurileung Muda untuk manggung. Berbekal nama beken sang ibu serta grup jaipong yang diberi nama Cineur Group. Cineur adalah akronim dari Cita-cita, Indung, Neruskeun, Elmu, Urus, Rombongan (Cineur).
Selain “mengkader” anaknya, Cicih juga berhasil mendidik murid-muridnya hingga cukup terkenal dan menjuarai beberapa pasanggiri. Seperti Oom Winarsih juara pinilih I Jabar, Rasih Suarsih (dikenal Cicih Muda) juara pinilih I Jabar dan Juara Titim Fatimah II berturut-turut. Murid yang lainnya yaitu Imas Masni dan Oon Setiana yang juga berprestasi. Mereka dilatih di Sanggar Kawih Mitra Kencana.
Generasi Teh Cineur
Tak seperti mendiang ibunya, Teh Cineur belum berhasil mencicipi tangga kesuksesan hingga meraih maestro. Namun demikian ia tetap konsisten menjadi seorang sinden. Perubahan teknologi pada industri musik hingga munculnya dangdut serta band menggerus popularitas seni jaipong. Tapi meski demikian, Cineur mengaku masih ada saja panggilan manggung. “Saya akan meneruskan perjuangan Ibunda Cicih Cangkurileung,” kata Cineur kepada Pasundan Ekspres.