Memaknai Sila Kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
Bagian ke sebelas
Artidjo
“Sebagai wakil Tuhan, seorang hakim harus mampu memberikan keadilan bagi semua orang. Keadilan yang seadil-adilnya menjadi faktor integratif sebuah bangsa, termasuk Indonesia”
Artidjo Alkostar.
Artidjo, tak meminta atau diminta untuk jadi komisaris di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Karena perspektifnya mungkin tak cocok untuk jadi komisaris. Bisa membuat berabe petinggi BUMN. Dari pada memelihara BUMN, Artidjo memilih memelihara Kambing di Situbondo dan ngurus tanah serta warung di Madura, pasca pensiun sebagai Hakim Agung. Artidjo mungkin terinspirasi oleh Nabi Muhammad yang juga menggembala kambing dan berdagang.
Rumah dibilangan Kramat Kwitang Jakarta Pusat, menjadi rumah yang disewa Artidjo. Rumah sewaannya menyatu dengan warga dan percis dibelakang deretan bengkel las. Bajaj menjadi salah satu kendaraan pavorit Artidjo jika ke Kantor Mahkamah Agung. Ketika masih menjabat Hakim Agung, Artidjo masih juga meluangkan waktu untuk mengabdi di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Setiap sabtu pagi, Artidjo dijemput keponakannya menggunakan motor di Bandara Adisutjipto. Padahal Artidjo bisa saja minta dijemput mobil mewah. Entah milik siapa.
Baca Juga:Maria Ozawa atau Miyabi, Blak-blakan Cerita Masa Lalu Ketika Pertama Kali Main Film PornoSigap, Begini Langkah As-Syifa Al-Khoeriyyah Menanggulangi Covid-19 di Lingkungan Pesantren.
Ya Artidjo Alkostar, “Palu Godamnya” sangat ditakuti para koruptor. Palu Godam keadilan yang ditimpakan kepada para terdawa koruptor, berlipat hukuman yang diterima. Yang dirasa tak adil dan jumawa oleh para terdakwanya. Tak kurang dari 19.708 berkas perkara ditangani Hakim Agung keturunan madura ini. Termasuk Soeharto pun diadilinya.
“Jadi, kalau saya pernah mengadili perkara Pak Harto, sekarang menangani perkara lain-lain, rasanya itu ringanlah. Mau perkara yang melibatkan menteri, mau melibatkan siapa, apalagi presiden partai, kecillah,” katanya.
Palu Godam Artidjo tidak hanya di ruang pengadilan. Di pintu kantornya pun di tulis: “Tidak menerima tamu yang berperkara”. Tulisan yang membuat para koleganya jengah dan menohok ulu hati para berperkara. Di pintu kantor pejabat pun memang tak ada tulisan “tidak menerima atau menolak tamu yang punya kepentingan”. Juga sulit menerima rakyat bawah yang membawa urusan nasibnya. Karena tak ada imbal balik yang menguntungkan. “Sogok Aku, Kau Kutangkap”, menjadi novel biografi yang ditulis Haidar Musyafa untuk menggambarkan sikap dan jalan hidup Artidjo untuk keadilan.