Artidjo menjadi jembatan keadilan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomi, politik dan sulit untuk mengakses keadilan. Masyarakat hanya menjadi “mainan”, terutama pada even politik dan hukum. Pandangan yang dibangun dari pergulatan bertahun-tahun ketika menjadi pembela rakyat kecil di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya.
Sebagai wakil Tuhan, seorang hakim menjadi tumpuan pengaduan keadilan bagi masyarakat. Itulah integritas hakim sebagai wakil Tuhan. Wakil Tuhan yang tak ada duanya ini, harus mampu memberikan keadilan bagi semua orang. Walau kadang keadilan tak selalu ditemukan atau diberikan oleh wakil Tuhan ini.
Prinsip ikhlas dan adil menjadi pedoman bagi Artidjo dalam menjalankan tugasnya selama 18 tahun. Pantas saja aktor-aktor koruptor sangat takut berurusan dengan Artidjo. Hingga untuk menghindarinya saja para koruptor harus “merogoh” keserakahan oknum pengatur perkara. Artidjo bersih, adil dan berintegritas. Namun sikapnya tak merembesi budaya di lembaga peradilan di negeri ini, agar diwibawai. Karena toh masih bisa dikangkangi dengan sejumlah rupiah.
Baca Juga:Maria Ozawa atau Miyabi, Blak-blakan Cerita Masa Lalu Ketika Pertama Kali Main Film PornoSigap, Begini Langkah As-Syifa Al-Khoeriyyah Menanggulangi Covid-19 di Lingkungan Pesantren.
Prinsip keadilan Artidjo tergambar dalam dissenting opinionnya (pendapatnya yang berbeda dengan hakim mayoritas, baik dalam pertimbangan hukum maupun amar putusan). Jika dirasa putusan mayoritas hakim tak sesuai dengan pertimbangan nurani, Artidjo bergeming. Artidjo berprinsip keadilan itu dalam hati. Artidjo menjadi wujud keadilan dan keadaban hukum.
Tak ada peradaban yang maju, jika pemerintahannya korup. Itu alasan Artidjo. Faktanya, peradaban bangsa ini digerogoti budaya korupsi yang tak pernah henti. Bahkan tingkah korup menjadi peradaban masif. Dari tingkat desa hingga menteri, menjadi figur utama tindak korupsi. Dengan aktor pendukung para pencari rente.
Seolah hukum adalah komoditas yang ada harganya. Tergantung perkara dan siapa yang berperkara. Tumpullah hukum bagi yang bisa memberi harga. Dan tajamlah hukum bagi rakyat kecil yang lemah, tak berduit. Keserakahan menjadi pendorong kehilangan keadaban dan kemanusiaan. Hingga hukum dapat dibeli.
Artidjo adalah gambaran prinsip kemanusiaan, keadilan dan keadaban dalam sila ke dua. Artidjo adalah teladan penegakkan keadilan. Walau keadilan mulai kehilangan teladan. Keadaban bangsa ada pada keadilan hukum. Manusia kehilangan keadaban dan rasa keadilan, karena keserakahan dan kesewenangan.