MenjalankanTugas sebagai Pemimpin: Lelah tapi harus Lillah

MenjalankanTugas sebagai Pemimpin: Lelah tapi harus Lillah
0 Komentar

Sayangnya, landasan keimanan yang harusnya dimiliki seorang pemimpin saat ini begitu sulit ditemukan. Bukan karena dalam dirinya tidak ada keimanan, tapi faktor lain yang membuat dirinya tak lagi memimpin sejalan dengan arahan Islam. Mengapa?

Sekuler-Kapitalisme Menggeser Peran Akidah
Sejatinya seorang pemimpin tak ada kata lelah untuk melayani masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Amanah yang ditanggungnya mengharuskannya siap menghadapi apapun dalam kondisi bagaimanapun. Enak dan tidak enak. Nyaman dan tidak nyaman. Bahkan ia harus siap dikritik jika pelayanannya tak sesuai harapan.

Mental pemimpin dalam sistem Islam dan sistem sekuler kapitalistik seperti saat ini sangat berbeda. Pemimpin dalam sistem sekarang tak jarang melahirkan pemimpin anti kritik, anti hujat, minim tanggung jawab serta abai terhadap masyarakat.

Baca Juga:Menyoal Bahaya Lembaga Pengelola Investasi KapitalistikWasiat Ki Hajar Dewantoro “Panca Dharma”

Semua itu terjadi karena memang landasan berpikir serta bertindaknya mengikuti arahan yang jauh dari agama. Teralihkan pada target-target ekonomi berbasis duniawi ketimbang kemaslahatan umat. Tak ada filosofi dalam dirinya sebagai pelayan sejati untuk umat melainkan kawan abadi untuk pemodal (kapitalis). Jika pun mengaku sebagai pelayan masyarakat tentunya bukan masyarakat kecil tak berduit, tapi masyarakat berdasi pencari regulasi.
Saat umat dihadapkan pada karakter pemimpin anti kritik, minim empati, banyak janji tapi tanpa bukti bahkan berkeluh kesah tentang letihnya mengurusi masyarakat, maka inilah bukti kegagalan pemimpin. Kegagalan ini disebabkan oleh sistem yang menaungi dan menjadi rujukan pemimpin era peradaban kapitalis-sekuler.
Kegagalan itu pula yang menyebabkan permasalahan umat tak kunjung usai. Satu persoalan saja tak tersolusikan secara tuntas. Sebut saja masalah Covid-19. Sudah hampir satu tahun lamanya negeri ini berharap negara bisa memutus rantai penularan dengan segera. Meski negara bisa mengambil kebijakan lockdown, namun iming investor dengan program kapitalistiknya mengalahkan kesejahteraan dan kenyamanan rakyat. Dana yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan selama pandemi, atau sekedar mendapat pelayanan gratis bidang kesehatan, pendidikan, nyatanya kalah penting dengan proyek pembangunan yang masih terus berjalan. Proyek ibukota di Kalimantan, jalan tol di beberapa wilayah, gedung Sabilulungan 99 di Kabupaten dan masih banyak lagi infrastruktur lain berbasis ekonomi.

0 Komentar