Oleh: Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga
Sejak awal tahun 2021 tiba, negeri ini disambut dengan berbagai musibah bencana alam. Bencana longsor di Sumedang Jawa Barat, bencana banjir di berbagai daerah, dan yang terbesar bencana banjir di Kalimantan Selatan. Musibah ini terjadi bukan tanpa sebab, namun bisa jadi faktor ekologi yang telah mengalami kerusakan dan defisit. Global Footprint Network tahun 2020, menyampaikan data bahwa Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Berita ini dilansir laman Mediaindonesia.com (11/2/2021). Angka ini menunjukkanbahwa konsumsi terhadap sumberdaya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia, sehingga akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang.
Laman (ipb.ac.id, 8/2/2021) melansir bahwa kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius. Ini diungkapkan guru besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof. Dr. Akhmad Fauzi. Ia juga menyampaikan, saat ini indeks modal alam Indonesia masih rendah yaitu di urutan 86. Semestinya negara tropis umumnya ada di peringkat 10 besar. Terdapat kerusakan yang cukup masif pada alam di Indonesia yang disebabkan oleh alih fungsi lahan. Keberagaman alam juga sudah semakin berkurang, bahkan laju pencemaran lingkungan khususnya air juga tinggi. Mengabaikan modal alam juga akan berakibat memperbesar angka ketimpangan ekonomi. Hal ini membuat perekonomian nasional kita melemah. Wajar saja dikatakan sebagai defisit ekologi. Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia untuk melakukan upaya dalam memperbaiki paradigma pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan. Tata kelola modal alam tentu] harus terus diperbaiki untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang.
Sepertinya tak dapat dihindari, arus globalisasi yang terjadi saat ini telah banyak mengubah alih fungsi lahan secara ugal-ugalan. Pembangunan infrastruktur dan pembukaan lahan baru terus dilakukan. Hal ini mengakibatkan lahan tidak dikelola oleh negara sesuai dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah yang terjadi di Kalimantan Selatan. Perusahaan tambang yang jumlahnya sampai dua ratusan menggaruk batu bara di lahan sekitar 506 ribu hektare. Sebanyak 85 perusahaan diduga menambang tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (koran.tempo.co, 22/01/2021).