Perlu diketahui penetapan besaran upah dalam Islam tidak ada. Terlebih ini dalam rangka agar pengusaha tidak terlalu berat menanggung biaya produksinya. Akhirnya fokus terbelah, yang seharusnya menemukan cara terefektif mengatasi Covid -19 terlebih kini varian virus sudah masuk Indonesia. Akankah hanya bertumpu pada protokol kesehatan yang ada dan vaksinasi?
Kemudian bagaimana agar fokus menghadapi ibadah Ramadan , bulan penuh keberkahan, mengoptimalkan ibadah dan memohon ampun kepada Sang Penguasa Hidup agar kiranya dicabut segala bencana.
Namun inilah faktanya, berulang-ulang terjadi, setiap kasus penanganannya tidak fokus samasekali. Ini bisa dimengerti, sekularisme menjadi asas ditegakkannya semua hukum. Contoh yang dekat tentang penetapan upah di atas. Sungguh butuh adanya edukasi kepada umat mana yang menjadi kewajiban negara dan mana yang menjadi kewajiban pengusaha.
Baca Juga:Budaya Impor Ancam Kedaulatan Bangsa Fenomena Ghosting dalam Pembelajaran Daring dan Mengatasinya
Upah ( akod Ijarah) semestinya adalah kesepakatan antara pemberi kerja (pengusaha) dengan yang pekerja. Upah sebenarnya merupakan nilai jasa (manfaat) yang diberikan oleh buruh (ajir) kepada majikan (pengusaha, musta’jir). Sehingga besarannya sesuai dengan nilai yang makruf di daerah tersebut. Pengusaha pun tidak dibebani dengan kewajiban menanggung kesejahteraan pegawainya, sebab hal itu ada di pundak negara. Inilah yang kemudian memberatkan pengusaha, sehingga ia menambahkan biaya kesejahteraan itu dalam biaya produksi. Belum lagi ada pajak yang dipungut oleh pemerintah sehingga harga satu barang bisa sangat mahal.
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian mengontrak tenaga seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya.” (HR. Ad Daruquthni).
Penetapan upah juga bukan berdasarkan harga barang, sebab hal itu tergantung pada mekanisme pasar, lihat saja setiap tahun tak ada kesesuaian antara harga kebutuhan pokok dengan besarnya gaji yang diterima pegawai, sangat sensitif, baru diberitakan di media pegawai bakal ada kenaikan gaji, harga kebutuhan pokok di pasar sudah naik bahkan terkesan berubah menjadi harga baru.
Belum lagi karena ulah pedagang nakal dan bermodal dengan menimbun atau pemerintah yang lagi-lagi mengambil kebijakan impor yang mengacaukan harga produksi dalam negeri. Runyamlah urusan petani, peternak dan rakyat. Maka, Ramadan yang sebentar lagi marilah kita sambut dengan hati yang suci bersih, hanya mengharap Rida Allah SWT dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT yang lebih adil dan menentramkan hati.