Oleh : War Yati
(Warga Sumedang)
Tahun ajaran baru segera tiba. Dunia pendidikan bersiap melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tatap muka. Setiap kabupaten/kota akan mengambil kebijakan atas dua hal. Pertama, mengenai kondisi penyebaran Covid-19 di daerah masing-masing. Kedua, atas dasar kebijakan dari pusat yaitu Kemendikbud.
Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya melemahkan aktivitas manusia pada umumnya, namun juga melemahkan sektor pendidikan. Selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) dunia pendidikan mengalami berbagai permasalahan yang belum terselesaikan. Banyak kendala yang dialami peserta didik maupun tenaga pendidik dalam melaksanakan PJJ tersebut.
Imbas dari PJJ yang dilakukan, tenaga pendidik dituntut untuk kreatif agar dalam menyampaikan materi dapat tersampaikan dengan baik. Guru tak hanya memberikan tugas-tugas sekolah saja, tapi mampu membuat inovasi pembelajaran semenarik mungkin. Supaya siswa dapat mengikutinya dengan baik. Namun demikian, tidak semua tenaga pendidik siap menghadapi tantangan ini. Terbukti banyak keluhan dari siswa terkait ketidakmengertian mereka dalam mengikuti pembelajaran dan menyerap materi.
Baca Juga:Badut Jalanan, Sebuah Pilihan Hidup di Sistem yang Serba SulitKBM Tatap Muka Segera Diuji Coba?
Ditambah lagi, sering berubahnya kurikulum menyebabkan siswa semakin bingung untuk memantapkan tujuan pendidikan yang hendak diraih. Di satu sisi, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa, mendidik dan mengarahkan siswa agar memiliki tujuan hidup juga mengembangkan potensi diri. Sehingga dunia pendidikan mampu mencetak generasi berkualitas tuk memajukan negaranya. Namun, hal ini tidak tercapai dengan baik karena kurikulum yang berubah-ubah. Kurikulum semacam ini secara tidak langsung membentuk anak menjadi pribadi yang labil, tidak bertanggungjawab dan lemah dalam visi-misi.
Kurikulum yang berlaku saat ini, juga berpotensi menjauhkan nilai-nilai agama dalam visi pendidikan. Terbukti dengan adanya moderasi beragama yang diterapkan dalam dunia pendidikan. Hal ini mengakibatkan siswa sulit dalam menilai suatu hal. Karena dalam moderasi beragama, kebenaran diukur dari seberapa banyak orang yang mengakui kebenaran tersebut tanpa memiliki landasan jelas.
Walaupun yang dianggap benar itu sesungguhnya sesuatu yang salah, maka siswa berkewajiban mengakui atau menyatakan bahwa yang demikian adalah benar karena sifatnya umum. Tentu hal ini berdampak pada ketidakjelasan dalam menentukan baik dan benar menurut syariat.