dengan kecuraman 60-90 derajat hanya bermodal balencong dan tali areuy, sejenis akar-akaran yang merambat, untuk pegangan.
Sendiri, bro! Ma Eroh mengerjakan itu sendiri! dengan alat seadanya! Perempuan, sudah tua lagi! Tak mengeluh! Tak dibayar! Dan apa yang dikerjakannya membuat malu para lelaki di kampungnya! (Juga kita!) 19 orang lelaki dikampungnya akhirnya membantu. Dan setelah 2,5 tahun delapan bukit cadas itu berhasil ditaklukkan “GOTONG ROYONG” Ma Eroh dan 19 lelaki di kampungnya. Warga tiga desa menikmati! Ma Eroh dan 19 lelaki, hanya tersenyum bahagia. Tak ada bayaran! Tak ada tepuk tangan!
Ma Eroh atau Mbah Sadiman yang telah menanam 11 ribu pohon dilahan seluas 100 hentar di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan Wonogiri. Atau 386 orang hebat lainnya yang diganjar Kalpataru. Tak dikenal orang! Tak punya follower, tak punya Instagram, tak punya channel youtube sendiri.
Baca Juga:Warga 3 Desa di Indramayu Mendadak Jadi Jutawan hingga Miliarder, karena IniJanda Anak Satu Gantung Diri, Sempat Selfie dengan Tali Melilit Leher dan Tinggalkan Surat Wasiat
Ah! Saat ini, kata Kalpataru tak menarik. Mungkin anak Millenial tak kenal Kalpataru. Mereka juga tak kenal Ma Eroh atau Mbah Sadiman. Pasti mereka lebih kenal Raffi Ahmad, Baim Bosque, Atta Halilintar atau influencer (youtuber, Instagramer dan lainnya dalam dan luar negeri) yang ngejreng. Dengan puluhan juta followernya.
Hanya dengan pamer apa yang mereka kerjakan, pakaian, jalan-jalan ke luar negeri, acara makan-makan dan seabrek aktivitas harian mereka. Dari aktivitasnya yang diupload di media sosial tersebut, mereka dapat prestise! Mereka dapat kesohoran! Menguatkan image hedonis! Dan dapat duit banyak! Instan! Siapa yang tak kepincut.
Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau cari duit bisa dengan cara mudah. Tak melanggar pula. Cukup jadi youtuber dan followernya banyak. Duit datang sendiri.
Modalnya gampang. Cari konten menarik, up load di youtube. Jika perlu pake adagium: “Derita loeh, konten gue! Apapun aktivitasnya, jadi konten!”.
Ruang private, menjadi ruang publik. Ruang private yang menjadi ajang pamer, vanity. Ruang yang nir rasa, dan menabalkan sikap hedonism.Sekaligus menjadi “mimpi” disiang bolong masyarakat bawah. Ruang private yang menjadi komodifikasi untuk ditukar koin dan tenar. Ketenaran yang melahirkan dahaga hedonism matrialisme.