Ya, percis seperti yang dikatakan Andre Wilde -diperankan oleh Anderson, dalam film Feedback, ”Ketenaran adalah monster yang lapar”.
Menjual ruang private di ruang publik menjadi komoditi pemburu ketenaran.
Entah bagaimana caranya. Nyai Eroh dan Mbah Sadiman pasti tak mengerti. Sebab mereka bekerja bukan untuk diganjar untung, materi dan kesohoram. Mereka bekerja untuk kehidupan. Tak pamrih, tak bermaksud tenar atau dapat materi.
“Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja, saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi,” kata Mbah Sadiman yang tinggal di rumah seluas 9×6 meter beralas tanah.
Baca Juga:Warga 3 Desa di Indramayu Mendadak Jadi Jutawan hingga Miliarder, karena IniJanda Anak Satu Gantung Diri, Sempat Selfie dengan Tali Melilit Leher dan Tinggalkan Surat Wasiat
Sila ke 3 Persatuan Indonesia, membutuhkan orang-orang yang tulus, peka serta rela berkorban untuk sesama dan lingkungannya dengan cara yang sederhana. Rela tanpa pamrih.
Bukan orang yang menyengaja memprivatkan urusan publik untuk kepentingan politik/golongan. Atau mempublikkan urusan private untuk kepentingan pribadi dan ratting.Tak kreatif.
Itu melukai nurani. Mencederai sila ke 3, Persatuan Indonesia. Percis seperti terlukanya hati ketika, Pancasila tak masuk dalam Peraturan Pemerintah no 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Warga Indonesia hanya akan menjadi pemburu rente dan ketenaran ketika Pancasila tak menjadi pedoman moral mereka. Salam Kang Marbawi (170421)