Wasiat Ki Kihadjar Dewantoro Bagian 10

Wasiat Ki Kihadjar Dewantoro Bagian 10
0 Komentar

Ki Hadjar sedang merenung!

Memerdekakan pendidikan Indonesia ditengah gebyarnya merdeka belajar? Yang hanya gimic tanpa makna, kata Azyumardi Azra. Pandemic, internet, media sosial adalah realitas yang harus dihadapi. Kesemuanya bisa berubah menjadi sosok “drakula” penghisap kualitas pendidikan menjadi merosot. Atau menjadi opportunity yang harus disikapi dengan cerdas. Dalam konteks menghadapi “drakula” penjajah, spirit pendidikruhul mudarris, adalah senjata utama yang tak boleh padam.

Memerdekakan pikiran pendidik untuk menjaga spirit mendidik. Merdeka belajar adalah memberi peluang kepada persentuhan dengan persoalan aktual –problem based learning. Menjaga pikiran -kecerdasan terkoneksi dengan hati-nurani. Teknologi informasi serta media sosial hanya menjadi alat untuk mengarahkan arus berpikir kritis. Sentuhan personal kepada anak didik yang akan memerdekakan mereka dari belenggu penjajahan media sosial. Tentu dengan menggunakan media sosial dan tak berpura-pura. Tulus kata utama dari spirit mendidik. Membaca adalah awal merdeka belajar! Membaca adalah awal merdeka pikiran. Seperti sabda Iqra! Wahyu pertama Allah kepada Nabi Muhammad. Tapi bukan membaca media sosial tak makna.

Maka pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan mendorong pelaku Pendidikan (guru-siswa, sekolah, orang tua dan masyarakat) membangun ekosistem literasi-membaca buku. Juga membaca realitas sosial sebagai bagian dari menajamkan nalar kritis dan nurani. Juga berbasis kepada tiga teori Ki Hadjar Dewantoro.  Kontinuitas, yaitu pendidikan yang menjaga keberlangsungan budaya dan identitas jati diri bangsa yang tertanam dalam kalbu siswa. Konvergensi, yaitu pendidikan harus melahirkan keberanian untuk berdialog dengan budaya di luar identitas dirinya. Tanpa tercabut akar dan identitas budayanya. Sehingga memperkaya warna dan wawasan berpikir, berpikir inklusif dan kritis. Konsentris, yaitu keterbukaan untuk melakukan inovasi dan kreatifitas hasil dari dialog budaya tersebut. Inilah pendidikan yang memerdekakan. Bukan sekedar gimic. Sebab anak-anak lebih banyak bermain Players Unknown Battle Grounds (PUBG), pertempuran dengan multipemain yang dimainkan secara daring. Selamat Hardiknas. Salam, Kang Marbawi (030521)

Laman:

1 2 3
0 Komentar