Hati-hati, Ada Faber di Tanah Kita

CLUE
0 Komentar

ADMINISTRASI pertanahan memang masih terasa ribet. Sampai sekarang belum digital. Lama. Terlalu banyak dokumen. Padahal zaman sudah digital. Itulah kesan saya. Entah bisa didigitalkan atau tidak. Apa selamanya akan begitu.

Meski sudah lama berkawan dengan notaris, staf notaris, pejabat BPN sekalipun, saya belum juga hafal syarat mengurus dokumen pertanahan. Misalnya dokumen-dokumen ini: tanah negara jadi sertipikat hak guna bangunan (SHGB), tanah adat jadi sertipikat hak milik (SHM), tanah negara bebas jadi hak milik, tanah waris jadi hak milik, tanah adat jadi SHGB, perpanjangan SHGB, AJB, dan masih banyak lagi. Singkatannya aja sulit dihafal, apalagi dokumen pendukunganya.

Sampai sekarang, bahkan mungkin masih banyak orang yang belum tahu bahwa kikitir, SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhitang) atau nama lainnya adalah bukan bukti kepemilikan yang sah. Padahal di desa-desa, saya yakin, lebih banyak orang yang punya SPPT daripada yang punya SHM.

Baca Juga:2.000 Guru Honerer Madrasah Dapat Bantuan HibahPeduli Yatim Piatu, Lazisma Darussalam Bagikan 150 Paket Lebaran

Tapi SPPT juga penting. Jika SPPT itu berubah, maka nama yang tercantum dalam SPPT yang dianggap paling berhak mengurus bukti kepemilikan. Dilanjutkan menjadi SHM atau SHBG. Walaupun nanti harus disebutkan riwayat tanah tersebut.

Apalagi saya baru mendengar juga dari ahli hukum agraria Universitas Padjadjaran, Dr. Yani Pujiwati, bahwa berdasarkan UU Cipta Kerja yang belum lama disahkan, tanah milik harus segera diurus administrasi pertanahannya dalam tempo lima tahun ke depan.

Ngerinya, yang sudah di SHGB-kan saja tiba-tiba bisa digugat. Apalagi yang baru punya bukti SPPT. Hal itu dialami keluarga besar Dwi Hani Wijaya.

Hani–panggilannya–tiba-tiba menerima keputusan Pengadilan Negeri Subang bahwa lahan seluas hampir 7 Ha dan pabrik penggilingan beras tua yang sudah lapuk tempat tinggal Hani waktu kecil, dinyatakan milik orang lain. Digugat seseorang bernama Siti Kusmirah dan dimenangkan. Padahal lahan itu ber-SHGB atas nama bapaknya: Didi Wijaya. SPPT lahan itu pun sudah berganti nama menjadi atas nama Siti Kusmirah.

Tentu putusan PN Subang tidak sembarangan. Ada dasar hukum dan kronologis yang menjadi pertimbangan. Tapi juga bukan keputuan final. Pihak tergugat, Hani tidak bisa menerima begitu saja. Ia sangat yakin ada kekeliruan dalam perkara ini. Maka Hani mengajukan perlawanan (verzet).

0 Komentar