“Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” Bagian ke 3
Kang Marbawi
Mainan Mufakat
“Opini atau persepsi yang dibangun dan diikuti banyak orang adalah pemenang dari pertarungan kebenaran. Sebab walau persepsi atau opini tersebut bukan kebenaran atau kenyataan sebenarnya (realitas semu) namun diyakini sebagai kebenaran mutlak. Maka pada saat itulah persepsi itu menjadi sumber kebenaran bukan realitas”. Itulah simulacra. Post Truth!
Orang Prancis yang Jermanis, Jean Baudrillard melihat fenomena para politisi dan penguasa dan kelompok kepentingan memanfaatkan opini publik untuk mempengaruhi masyarakat dan mencapai tujuan. Rakyat, seolah anak kecil yang bisa ditipu dengan mainan. Kelompok kepentingan politik, penguasa dan pengusaha memanfaatkan pembentukan opini untuk mengarahkan dan memainkan satu model permainan persepsi yang di design, agar rakyat terpengaruh.
Oleh sekelompok kepentingan tertentu, rakyat masih dipandang belum dewasa. Dan kadang memang belum dewasa. Kekanak-kanakan. Lihat saja, betapa mudahnya rakyat menyatu terkena virus hoaxs, berita bohong dan falasi (sesat pikir) yang ada di media sosial lainnya. Ini terjadi akibat nalar tumpul dan nalar fast food. Serba ingin cepat, eksis, terkenal, dan mendapat followers di media sosial.
Opini yang dibangun tersebut dimaksudkan untuk memperoleh pembenaran atas apa yang dilakukukan. Pembentukan opini menjadi salah satu alat politik untuk memaksakan kehendak. Pembentukan opini yang tak sesuai dengan realitas atau ditujukan untuk kepentingan politik atau penguasa atau pengusaha adalah penindasan dan dominasi atas akal sehat masyarakat. Tak ada musyawarah untuk mufakat dalam opini. Bahkan bisa jadi musyawarah mufakat dilakukan atas desakan opini. Yang seperti ini “jauh panggang dari api”. Itulah demokrasi Indonesia saat ini.
Hatta pun mengkritik model demokrasi seperti ini. Baca saja buku Hatta “Demokrasi Kita”. Demokrasi yang hanya digunakan untuk menguntungkan satu kelompok kepentingan, tak akan pernah langgeng. Tulisan Hatta terasa relevan dengan kondisi saat ini. Kentalnya budaya dan kearifan lokal Minang yang dijadikan salah satu pijakan Hatta soal demokrasi.
“Bulek aia ka pambuluah, bulek kato jo mufakek, tuah sapakek, cilakonyo dek basilang”