Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 50
Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Bagian ke 4
Kang Marbawi
“Pada partai politik rakyat menitipkan kedaulatannya. Pemegang mandat daulat rakyat, seharusnya mengperjuangkan aspirasi hajat hidup rakyat banyak. Mengagregasikan kepentingan publik (maslahah-kebaikan/kemaslahatan bersama), namun faktanya partai politik lebih banyak dikendalikan para oligarki”.
Pantas sejak abad 14 M, Asy Syatibi, telah mewanti-wanti agar para pemegang kekuasaan untuk memperhatikan kemaslahatan manusia dengan bertumpu pada Maqosyid Asy-Syariah. Ulama asal Xativa/Sativa Timur Spanyol tersebut membuat lima titik sebagai garis demarkasi kebijakan penguasa agar tidak dilanggar penguasa dan pemegang mandat daulat rakyat. Spanyol dari dulu terkenal, tidak hanya sekarang yang terkenal dengan Klub Bercelona, Real Madrid dan klub sepakbola lainnya. Bedanya, Spanyol dulu pusat peradaban dan ilmu, sekarang pusat klub bola kaya raya.
Garis demarkasi yang pertama adalah kebijakan penguasa dan pemegang mandat daulat rakyat ditujukan untuk melindungi agama rakyat. Jangan sekali-kali ada sikut-sikutan antar agama, gegara kebijakan soal agama yang merugikan sebelah rakyat. Hingga rakyat yang agamanya berbeda tak nyaman hidup karena tak boleh mendirikan tempat ibadah. Rakyat harus memiliki kebebasan dan dijamin keamanannya jika ingin ngobrol bareng rakyat lain tentang agama dan keyakinannya. Selama tidak bertentangan dengan ideologi negara dan tak menganjurkan ajaran melawan, memusuhi orang yang berbeda. Karena sejatinya ajaran agama itu adalah ajaran kedamaian. Bukan dari agama yang mengajarkan kekerasan! Itu dari pikiran sumbu pendek! Kata Buya Syafii.
Garis demarkasi yang kedua adalah kebijakan penguasa harus ditujukan untuk melindungi jiwa rakyat. Jangan sekali-kali rakyat dengan rakyat saling menghilangkan jiwa karena tak adanya perlindungan dari penguasa. Jangan pernah! Walau faktanya, jiwa yang melayang tak berbilang setiap harinya entah karena ketabrak sepeda atau memakan sate sianida atau gegara tak lulus jadi calon kepala desa atau gegara beradu pandang mata.
Ketiga adalah melindungi pikiran rakyat. Rakyat harus memiliki kebebasan untuk berpikir kreatif tanpa perasaan takut dipenjara gegara berbeda pikir. Tak dilarang ketika mengkritik asal disampaikan dengan cara yang tepat, benar dan santun. Pengusa harus melindung rakyat dari cara berpikir salah yang mengajak rakyat untuk terlibat dalam perbuatan melawan orang yang berbeda -bisa beda pilihan, pikiran, paham agama, nasib, dengan cara kekerasan. Pikiran yang bebas terwujud dalam kebebasan individu. Namun tetap bertanggungjawab. Tak boleh ada kebebasan siapapun yang menabrak kebabasan individu atau kelompok. Begitu pun sebaliknya.