Memaknai sila keempat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Bagian ke 9
Kang Marbawi
Panggung
“Musyawarah mufakat menjadi sebuah kearifan lokal bangsa yang seharusnya menjadi laku lampah. Sistem demokrasi musyawarah mufakat yang membuat -rakyat, yang mewakili rakyat dan pengatur rakyat- menjadi warga negara yang baik. Sesuai dengan amanahnya masing-masing. Sayangnya nalar fast food menjadi tren model sebagian sikap masyarakat. Yaitu sikap tak berpikir dampak dari share dan cuitan di media sosial.”
***
Gedung tua Miss Tjitjih di bilangan Cempaka Baru Kemayoran Jakarta Pusat, terlihat lusuh, murung dan ringkih. Mungkin gedung pertunjukkan wayang orang Sriwedari, Solo, atau gedung pertunjukkan wayang orang Bharata di Pasar Senen Jakarta pusat, pun tak beda jauh nasibnya. Lengas dan ditinggal penonton. Sriwedari, Wayang Wong Bharata, Miss Tjitjih Theatre adalah laku sejarah panjang seni pertunjukan.
Bermula tahun 1926, sebuah sandiwara keliling asal Jawa Timur -Opera Valencia, pimpinan Sayyed Aboebakar Bafaqih yang singgah di Sumedang Jawa Barat. Bafaqih kepincut dengan kecerdasan multitalenta (berakting, menyanyi, menari, dan cantik) seorang gadis Sumedang bernama Tjitjih. Sejak saat itu, Tjitjih yang baru berusia 18 tahun bergabung dengan Opera Valencia. Dua tahun setelahnya Bafaqih menikahi Tjitjih, walau Bafaqih tak sanggup mempertahankan istri pertamanya. Sandiwara Opera Valencia pun berganti nama menjadi group sandiwara berbahasa Sunda, Miss Tjitjih.
Hingga era 1980-an seni pertunjukkan Miss Tjitjih, Bharata, Sriwedari dan seni pertunjukkan pada budaya lain di Indonesia merasai kejayaan seni pertunjukkan. Dan kini terpuruk tak dilirik zaman. Seni pertunjukkan tradisional, tersengal-sengal mempertahankan teori Kontinuitasnya Ki Hadjar Dewantoro -merawat budaya-kearifan lokal. Ditinggal penonton yang lebih asyik dengan ragam pertunjukkan di dunia maya. Sandiwara Miss Tjitjih atau wayang orang atau ketoprak Tobong atau La Gilogo dari Makasar atau Masres dari Indramayu atau lainnya, butuh penonton untuk hidup.
Tak beda dengan Miss Tjitjih, politik pun butuh panggung dan penonton. Sebab politik tanpa penonton mustahal punya pengikut. Apa yang ditampakkan politik ke mata publik, harus terlihat elegan dan disukai. Media sosial (medsos), bisa menjadi Panggungnya. Lakonnya bisa apa saja. Agama, covid-19, bahkan siapa yang nonton sinetron pun bisa jadi lakon. Tak ada skenario baku dalam panggung virtual di media sosial. Semua orang bisa berbaur bersama. Politisi atau orang biasa pun bisa bermain bersama dalam panggung dengan lakon dan skenario masing-masing. Yang penting lakonnya lagi viral atau diviralkan.