Viral dalam dunia maya diartikan direspon “cuitan natizen-warga dunia maya”. Saling sahut menyahut seperti cuitan burung Kenari atau Lovebird yang digandrungi warga. Cuitan yang konon katanya seperti “palu hakim” -menghukumi, mengubahi bahkan mengutuki. Bisa jadi sangat kejam, sumir, sinis, nyinyir, julid, comel, usil, bawel. Dan di lain waktu bak malaikat penolong penuh belas kasih dan empati kadang galau. Natizen adalah pesakitan dan sekaligus hakim dunia maya. Cuitan “Dasamuka” di ujung jari.
Tak salah Iwan Fals di album Swami 1989 mendendangkang lagu “Badut”. Sebuah sindiran kepada semua yang cuma mau eksis, viral dan up date status. Menjadi aktor simulacra-realitas semu-nya Jean Baudrillard. Sayangnya tahun 1989 belum ada media sosial. Jika sudah ada media sosial, mungkin liriknya:
“Di televisi”
“Di koran-koran”
“Di dalam radio”
“Di atas mimbar”
ditambah
“Di media sosial”
Di ruang maya, rakyat menjadi penonton sekaligus aktor, bersama politisi. Berebut ruang eksistensi masing-masing. Dunia maya bisa jadi panggung aktualisasi demokrasi semu. Para politisi dan rakyat bermain bersama dan memiliki panggung masing-masing. Kadang panggung itu beririsan atau bahkan menjadi ajang pertarungan.
Demokrasi saat ini tidak hanya di ruang-ruang kasat mata. Demokrasi bisa lahir dari ruang maya. Namun demokrasi, bukan politik tontonan. Demokrasi yang diinginkan oleh sila ke empat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” adalah demokrasi untuk kemanusiaan dan berkeadilan. Musyawarah mufakat yang berkeadilan untuk setiap manusia Indonesia adalah titik dasar demokrasi Pancasila.
Di ruang rapat gedung dewan, nasib rakyat ditentukan. Syura’ atau musyawarah adalah segala urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Diputuskan bersama dengan berlandaskan nilai keadilan, kemanusiaan dan urgensi urusan. Tak mendesakkan atau menitipkan kepentingan kelompok (egoisme) untuk masuk dalam keputusan.
Di atas kertas, nasib rakyat dituliskan, jadi kebijakan. Direalitas, kebijakan itu memiliki nasibnya sendiri. Sebab, kebijakan yang “dihijrahkan” di jagat maya, bisa menjadi lakon untuk panggung pertunjukkan politik. Rakyat pun bisa bermain dan atau dimainkan. Bercampur nalar fast food para “badut” ala Iwan Fals.