NGAMPRAH-Aksi penyerobotan lahan yang akan dibayar oleh Pemda Kabupaten Bandung Barat (KBB) karena menjadi bagian dari rencana pembebasan lahan kompleks perkantoran seluas 100 hektare (ha), terjadi di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah.
Tanah yang diserobot oleh yang mengaku ahli waris Nyi Setiamah (Iting), Muchtar warga Cipada Girang, Cikalongwetan itu, seluas 20.000 meter persegi dari total luas 33.625 meter persegi. Pencaplokan tanah yang tercatat atas sertifikat hak milik (SHM) nomor 10.14.04.06.1.00038 tersebut hanya berlandaskan warkah dari desa. “Saya pegang sertifikat asli tanah tersebut sejak dikuasi tahun 2007, ketika mau dibeli pemda banyak pihak menyerobot tanpa bukti otentik yang jelas. Pemda harus hati-hati jangan sampai salah bayar yang bisa merugikan masyarakat,” kata pemilik lahan Sutar Lipia Pahlapi, Rabu (4/8).
Sutar menjelaskan, pencaplokan lahan ini jelas merugikan, apalagi tanahnya langsung dipasang pelang dan dipatok-patok. Lebih parahnya lagi tanah seluas 20.000 meter persegi yang dicaplok dari miliknya sudah ditawarkan oleh ahli waris ke Pemda KBB. Padahal dokumen kepemilikan yang sah, penguasaan fisik, dan serifikat ada pada dirinya. “Terkait persoalan ini sudah dikonsultasikan ke Polda dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Termasuk surat ke KPK kami siapkan untuk mencegah terjadinya kerugian negara akibat salah bayar, manupulasi data, dan korupsi,” sebutnya.
Dirinya menerangkan, tanah tersebut bersama Ramon dibelinya dari Ali Said dengan nama di sertifikat tertulis Atih alias Atik dari total 11 pemilik. Yakni Juju, Yoyoh, Mulyana, Ayi Tatih, Asep, Endang, Nani, Aep Dadang, Sobariah, Dedi Mulyadi, dan Eti. Sama sekali tidak terdapat nama Nyi Setiamah (Iting) yang diklaim Muchtar sebagai ahli waris.
Namun tiba-tiba Kepala Desa Cilame mengeluarkan surat keterangan Nomor 125/DS/VII/2021 yang menerangkan bahwa tanah seluas 20.000 meter persegi di blok tersebut tanah adat milik Nyi Setiamah (Iting) dan dikuasai Muchtar sejak 2021. Padahal dirinya pada 25 Januari 2021 telah menyurati kepala desa dan menyampaikan bahwa tanah tersebut miliknya dengan dilampirkan foto copy sertifikat.
Menurutnya kepala desa telah mengeluarkan warkah dengan alasan tanah itu belum bersertifikat. Padahal tahun 2017 sudah keluar Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang menerangkan bahwa sertifikat dan buku tanah terdaftar di BPN. Sehingga atas kejadian ini dirinya merasa dirugikan karena tanah miliknya telah dipatok dan dipasang pelang sehingga bisa jadi sengketa. “Jelas kami dirugikan. Kami punya sertifikat yang sah, produk negara, karena dikeluarkan BPN. Tapi kok tiba-tiba ada yang mengklaim. Jadi sertifikat ini fungsinya apa?” tanyanya.