Nyaris Legalkan Zina, Permendikbudristek Menuai Kontroversi

Nyaris Legalkan Zina, Permendikbudristek Menuai Kontroversi (foto: ilustrasi kekerasan seksual)
Nyaris Legalkan Zina, Permendikbudristek Menuai Kontroversi (foto: ilustrasi kekerasan seksual)
1 Komentar

Nyaris Legalkan Zina, Permendikbud Menuai Kontroversi. Terbitnya Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dikritisi dan tuai kontroversi.

Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mempertanyakan dasar hukum dikeluarkannya Peraturan Mendikbudristek tersebut.

Pada dasarnya, seluruh peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek mestinya mengacu pada Undang-undang No 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Baca Juga:Sadis! Dua Siswi SMP Dicekoki Miras Lalu Digilir Tiga PriaPHS BRI Cabang Subang: Hasna Fatimah Menangkan Toyota Avanza

Di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang itu dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa saja mempunyai kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.

“Maka terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat karena undang-undang yang menjadi cantolan hukumnya saja belum ada,” jelas Ledia, dilansir dari Fin, Rabu (3/11).

Selain itu, Ia juga menyayangkan bahwa terdapat sejumlah muatan dalam isi Peraturan Menteri itu jauh dari nilai-nilai Pancasila dan bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme.

Bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual tersebut, malah justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3.

Padahal, sangat jelas Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan.

Di samping ketiadaan landasan norma agama, muatan-muatan Peraturan Menteri tersebut menurut Ledia banyak memasukkan unsur liberal saat mengambil sikap.

Ledia yang menjabat sebagai Politisi PKS itu juga menjelaskan, bahwa definisi kekerasan seksualnya menjadi bias. Cpntohnya, saat memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada ‘penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender’.

Baca Juga:Aplikasi Edit Foto Instagram, Biar Dapatkan Banyak LikeHadir di Acara High Level Segment KTT COP26 di Glasgow-Skotlandia Airlangga Sebut Presiden Jokowi Minta AS Tingkatkan Investasi di Indonesia

Nyaris Legalkan Zina, Permendikbudristek Menuai Kontroversi

Kemudian, Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan ‘persetujuan’ atau yang biasa dikenal sebagai _consent_ menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2.

Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa ‘dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan’ . Jelas-jelas berbahaya ini,” kritik Anggota Baleg DPR RI tersebut.

1 Komentar