Lagi Ramai Petisi, Cara Membuat Petisi Online di Indonesia Tidak Boleh Sembarang

Lagi Ramai Petisi, Cara Membuat Petisi Online di Indonesia Tidak Boleh Sembarang (Foto:ilustrasi membuat petisi online)
Lagi Ramai Petisi, Cara Membuat Petisi Online di Indonesia Tidak Boleh Sembarang (Foto:ilustrasi membuat petisi online)
0 Komentar

RAGAM – Pada era digitalisasi saat ini, tentu saja membuat hampir sesuatu hal dapat dilakukan melalui online. Tidak terkecuali petisi yang sedang marak dilakukan dengan platform online. Siapa pun bisa saja jadi penggagas petisi untuk berkampanye dan mencari solusi atas masalah umum yang ada pada masyarakat.

Namun, perlu diketahui apabila sembarang membuat petisi, sanksi dapat dijatuhkan sesuai dengan aturan platform yang digunakan. Seperti diungkapkan Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz. Sepertti dihimpun dari Fajar News.

Siapa saja bisa berkampanye untuk memobilisasi pendukung, dan bekerja dengan pengambil keputusan untuk mencari solusi di Change.org.

Baca Juga:Dukung Penghapusan Presidential Threshold, PKS: Bertentangan dengan DemokrasiTriwulan III 2021 Ekonomi Terus Tumbuh, Airlangga: Seimbangkan Rem dan Gas

“Jadi siapapun bisa buat petisi, tinggal masuk ke situs Change.org saja, klik mulai petisi dan menjawab beberapa pertanyaan. Dan siapapun yang memulai petisi itu bisa langsung menayangkan petisi mereka,” kata Direktur Komunikasi Change.org, Arief Aziz, baru-baru ini.

Akan tetapi, terdapat sejumlah hal yang menyebabkan petisi diturunkan dari para penggagasnya. Seperti konten yang mengandung kekerasan, konten pornografi, ujaran kebencian, dan disinformasi, adalah hal-hal yang dilarang dimuat dalam petisi.

Apabila menemukan konten yang melanggar pedoman komunitas atau ketentuan layanan maka dapat dihapus. Tidak hanya diturunkan, bahkan ada sanksi tegas yang diberikan

Lagi Ramai Petisi, Cara Membuat Petisi Online di Indonesia Tidak Boleh Sembarang.

“Jika si penggagas petisi mengunggah konten yang merupakan pelanggaran serius atau berulang, kami bahkan dapat menangguhkan atau menutup akunnya,” paparnya.

Terkait disinformasi, ia mengakui memang sulit untuk mengkategorikannya. Pasalnya, jika dilihat pada panduan komunitas, kasus disinformasi ini tidak dapat sembarangan ditetapkan sebagai petisi disinformasi.

“Jadi kalau misalnya ada satu hal yang kita lihat di sini bahwa disinformasi petisi itu efeknya bisa berdampak buruk sekali, maka mungkin saja kita putuskan untuk kita turunkan. Tapi, dengan adanya kemudian permintaan dari yang berwewenang maka petisi itu menjadi lebih kuat untuk kita turunkan,” pungkasnya.

Ia memberi contoh, pada kasus petisi berjudul ‘Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM): Selamatkan Bayi Kita dari Racun Bisphenol A (BPA)’ akhirnya dihapus sebab mengandung konten berisi disinformasi.

0 Komentar