Pantas kemudian Jazques Henris Abendanon, memberikan apresiasi kepada Kartini. Bersama dengan C.Th. van Deventer mendirikan Yayasan Kartini di Belanda tahun 1910. Tidak hanya itu, surat-surat Kartini diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang” tahun 1911. Buku itu menjadi best seller dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, Inggris (1926), Arab, Jepang (1955) dan Prancis (1960). Surat-surat Kartini ini juga diterbitkan dalam terjemahan bahasa Sunda, yang diterjemahkan oleh R. Sutjibrata (1930), dan versi bahasa Jawa yang diterjemahkan oleh Ki Sastrasuganda yang diterbitkan pada 1938.
Surat-surat Kartini menjadi bagian dari dialog budaya Timur dan Barat yang setara. Ada kesadaran akan pentingnya menjaga dan mendialogkan budaya Timur dan Barat, juga kesadaran akan ekspansi budaya. Jauh sebelum Samuel Hutington menerbitkan The Class of Civilizations -benturan budaya tahun 1992. Tidak hanya itu, Kartini menunjukkan sebuah sikap yang tidak culture shock berhadapan dengan budaya Barat-Belanda. Kungkungan budaya saja yang menyebabkan Kartini tak mengenyam langsung pendidikan di Belanda.
Sikap independent dan percaya diri sebagai seorang perempuan dari Hindia Belanda, ditunjukkan olek Kartini dalam suratnya kepada Stella, dan menjadi suratnya yang paling popular.
Baca Juga:RINGKASAN LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH ( LPPD ) PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2021PNM Berhasil Mencetak 2 Rekor MURI
“Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri… yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia.” (Surat Kartini kepada Stella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Sebuah sikap percaya diri, cerdas dan juga humanis. Kartini tidak egois hanya memikirkan diri sendiri. Pada zaman Kartini, perempuan tak memiliki kemerdekaan atas diri dan masa depannya. Apalagi untuk memerjuangkan orang lain. Tapi tidak dengan Kartini. Seperti juga Laksamana Malahayati, perempuan Aceh yang mengalahkan armada Cornelis De Houtman. Atau Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 – 2 Januari 1818), seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut-Maluku yang memilih melawan kolonial Belanda. Marta C Thiahahu berusia 17 tahun ketika memimpin perlawanan.
Ketika sebuah hasrat menjadi ide, dan ide menyatu dengan badan, dan semuanya menyatu dengan sesuatu yang sakral dan sosial. Melahirkan perlawanan. Kartini, Malahayati, Martha.C. Tiahahu adalah manusia yang merdeka dan memiliki spirit perlawanan dengan caranya masing-masing. Juga berjuta perempuan Indonesia dulu hingga kini. (*)