Mungkin makna yang dicari oleh para pencari “tanda” puasa dan lailatul qadar adalah perasaan Dominus Vobiscum atau Inna Allah Ma’ana, Tuhan bersamamu. Perasaan itu hanya akan hadir dari relung hati yang bening dan kepekaan spiritual yang terasah bertahun-tahun. Bukan perasaan ketika berada pada kondisi di titik nadir. Walau itu tak salah.
Dan aku tak menemukan perasaan itu, Pun tak kutemui “tanda” sebagai “penanda” kebermaknaan puasaku. Apalagi kebermaknaan lailatul qadar. Aku hanya peroleh lapar dan haus dari sebulan menjalankan ibadah puasa di Ramadhan ini dan tahun-tahun sebelumnya. Sungguh aku hanya menggugurkan kewajiban. Bahkan untuk fiqih pun, puasa ku tak masuk kriteria. Aku tak memuasai puasaku seperti halnya nasehat KH Mustofa Bisri kepada dirinya.
Duhai Yang Maha Pengampun, untuk Mu aku tak melakukan puasa. Padahal, bisa jadi tak temukan lagi puasaku. Duhai Yang Maha Suci, aku tak mensucikan semua sahwatku, seluruh anggota tubuhku, hatiku, aku tak berpuasa. Hanya menjaga mulut ini tak menyentuh sedapnya rasa, hingga datang waktu. Duhai Yang Maha Perasa, ku lalai untuk merasai rahmat Mu. Menghayati Mu dalam puasai hidup dan hakikat. Ku abaikan “penanda” Mu. Ampuni Kami, hambamu yang khilaf-lena pun hina-dina. Wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Kami mengharap kasih sayang-Mu, sayangilah Kami. Mohon maaf lahir bathin.