Bicaranya begitu bersemangat ketika berbicara tentang pentingnya memerjuangkan nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan. Seolah tak ingin terkungkung dalam tubuh ringkih sepuhnya. Baginya memerjuangkan nilai Pancasila adalah bagian dari panggilan agama. Sebab menurutnya, nilai Pancasila adalah sama dan sebangun dengan nilai agama.
“Pancasila lah yang memersatukan bangsa ini. Maka kita harus merawat dan mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Mewujudkan persatuan Indonesia yang menghormati semua entitas yang ada di dalamnya”, begitu pesan Beliau kepada saya dalam sebuah perbincangan di rumah nya.
Teladan kesederhanaan hidup, keteguhan prinsip menjaga nilai Pancasila, keteguhan prinsip membela mereka yang terdiskriminasi sistem sosial kekuasaan, keteguhan untuk tidak di elu-elukan, kedalaman berpikir, kecintaan yang agung dalam mencintai Bangsa Indonesia adalah sedikit warisan yang harus dipedomani dan diikuti kita.
Pardoks dengan diri kami yang harus berjibaku melawan diri kami sendiri, melawan kehilangan nurani dan fitrah kebenaran. Tertumpulkan oleh hasrat kepentingan individu-kelompok dan syahwat indrawi dan politik. Menabalkan identitas etnisitas, agama dan sosial. Kami adalah paradoks dirimu yang sudah selesai dengan diri sendiri. Sebab kami belum selesai dengan diri kami sendiri. Selamat jalan Buya Syafi’i Ma’arif. Gusti Allah telah menantimu di Surganya. Kami kehilangan, tapi kami mendapat warisanmu. Warisan yang tak diperebutkan, atau bahkan dilupakan begitu saja. Setelah dirimu tiada. (*)
Oleh: Kang Marbawi