Pojokan 103
Pohon sukun itu sama dengan pohon-pohon lainnya yang ada di Ende. Bahkan diseluruh pelosok dunia. Daunnya yang rindang memberikan keteduhan dan menjadi tempat bernaungnya segala jenis burung endemik. Dan siapapun bisa bernaung di bawah rindang daunnya. Entah sembari merenungi nasib atau mimpinya. Tak peduli jabatan, suku, agama, kaya-miskin dan status sosial lainnya. Semua orang boleh berteduh, lesehan bahkan tertidur nyenak di bawah pohon. Rindang pohon apapun tak pernah diskriminasi terhadap siapapun. Walau kadang sesiapun yang sering diskriminatif terhadap siapa yang boleh duduk di bawahnya.
Begitupun dengan renungan Soekarno. Pohon Sukun itu memberikan milliu ketenangan dengan rindangannya dan semilir angin pantai serta kicauan burung endemik. Teduhnya mengantarkan Soekarno menelusuri jejak dan artefak sejarah nenek moyang bangsa besar ini. Mulai dari jaman batu hingga jaman Soekarno duduk. Semilir anginnya membawa Seokarno memiliki pandangan jauh kedepan (visi) melewati samudra luas. Merentang melihat cita Bangsa Indonesia ke masa yang akan datang. Bahkan melewati era post metaverse.
Perenungan Soekarno di bawah Pohon Sukun tahun 1934 menjadi embrio kelahiran sebuah falsafah bangsa. Falsafah yang digali dan direnungi dari sumsum sejarah peradaban budaya nenek moyang Bangsa Indonesia. Perenungan tersebut terus mengendap dan berdialektika dalam kurun waktu proses pendewasaan sebuah ideologi. Hingga membuncah dan mewujud dalam sebuah permusywaratan agung bangsa, Badan Penyelidik Usaha-Usaka Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)- Indonesia. 1 Juni 1945, lahirlah Pancasila, sebuah falsafah Bangsa Indonesia. Menjadi ideologi Bangsa Besar (dengan B besar), Bangsa Indonesia.
Baca Juga:Puluhan Warga Desa Telukambulu Geruduk Kantor DPMD Karawang, Ternyata ini SebabnyaNonton Formula E di Sirkuit Ancol, AHY Disambut Akrab Anies Baswedan
Orang bijak bestari bilang, tak ada bangsa yang lahir tanpa perjuangan. Tak ada perjuangan yang tak merelakan pengorbanan. Pengorbanan untuk perjuangan yang lahir dari keyakinan. Keyakinan yang menjadi ideologi. Ideologi yang menjadi dasar perjuangan untuk menggapai cita bangsa: “Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja”. Atau peribahasa lain yang semakna dari budaya bangsa yang beragam ini. Itulah perenungan dan cita para pendiri bangsa untuk Indonesia kini dan masa yang akan datang.
Cita pendiri bangsa itu, kini belum semuanya terwujud. Cita itu memanggil kita. Panggilan untuk mewujudkan cita. Walau tak mudah untuk mewujudkannya. Mewujudkannya membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan untuk melahirkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.