Cita itu memanggil semua, tapi tak semua merasa terpanggil. Pun jika terpanggil, hanya berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Panggilan yang hanya berdengung menjadi jargon dan komoditas. Tak dijiwai, tak dirasai. Dijiwai, dirasai ketika itu ada untung untuk dirinya. Tak lebih. Justru mencari lebih dari capaian cita yang mungkin diraih untuk diri. Bukan untuk bersama.
Panggilan itu sebenarnya sederhana. Sesederhana keterlibatan kita dalam setiap aspek kehidupan. Keterlibatan yang didasari empati dan melahirkan kebermanfaat kepada sesama. Keterlibatan yang tulus dan total. Ketulusan yang bertunas keberkahan. Keberkahan yang menganggit kebermanfaatan untuk sesama. Itulah dasar panggilan yang ideologis.
Seokarno dan para pendiri bangsa menitipkan cita Pancasila itu kepada kita. Kita dititipi untuk mewujudkan dan mengaktualkan cita Pancasila. Walau tak semua merasa dititipi. Sebab titipan itu sejatinya adalah masa depan bangsa ini, masa depan kita jua. Masa depan Kita ditentukan oleh seberapa besar Kita menjiwai keyakinan untuk melaksanakan panggilan cita. Didasari keterlibatan tulus dan total pada apa yang menjadi tugas kita sehari-hari. Tak perlu semua mengurusi semua. Cukup kita mengurusi sejauh mana kekuatan empati dan totalitas dalam apa yang menjadi amanah kita. Itulah yang melahirkan keberkahan dan mewujudkan cita pendiri bangsa. (*)
OLEH: Kang Marbawi