Pojokan 106
Panggilan alam itu selalu datang kapan pun. Tak peduli ada dimana. Datang tak tahu waktu, tempat dan situasi. Kadang, sengaja beralasan ada panggilan alam, meskipun tak ada panggilan. Sekedar menghindari kejenuhan suasana sosial-psikologis di ruang rapat. Panggilan itu menjadi katalisator dari kepenatan, suntuk, keruwetan, kekeruhan benak-pikiran.
Seolah, kelokan dan centang perenang anggitan pikiran itu, tandas diakhir lubang leher angsa. Tak peduli, harga, model, jenis, kondisi lubang penampungan itu. Atau sekerat dua batang bilah bambu di selokan atau sungai. Asal karut-marut keresahan jiwa terlarung ke lubang pembuangan, legalah. Disinilah letak pentingnya panggilan alam. Panggilan alam yang kerap kali, tak tahu pentingnya suasana yang dihadapi. Tempat panggilan alam itu adalah toilet, jamban, jeding, peturasan atau nama lainnya. Pun bawah pohon, tanah lapang, selokan atau sisi tembok luar bangunan tak terpakai.
Era sebelum tahun 2000, toilet adalah media untuk menyampaikan aspirasi. Tengok saja cerita pendek (cerpen) Eka Kurniawan, penerima The Man Booker International Prize tahun 2016, “Corat-Coret Di Toilet”. Dinding Toilet menjadi media penyampaian aspirasi, kritik, kegalauan hati, rindu yang tak sampai, iklan dan berbagai macam coretan gelisahnya kehidupan penggunanya. Spidol, pulpen, lipstik hingga bara puntung rokok dijadikan alat untuk menorehkan. Aspirasi ala vandalisme di bilik toilet itu, kini beralih di media sosial (medsos). Dinding toilet dan medsos, seolah kurusetra untuk bertahan dan menyerang.
Baca Juga:17 Kendaraan Tabrakan Beruntun di KM 92, 23 Orang Luka-lukaDiduga Berusia 300 Tahun, Mumi Putri Duyung Ditemukan di Jepang
Dan kondisi toilet menunjukkan nuansa tersendiri. Nuansa yang juga menggambarkan perilaku keadaban dan nilai yang dianut penggunanya. Pun keadaban dan tak adabnya pengguna. Lihat saja, tak di hotel, di terminal, toilet umum, di sekolah, di kantor, bahkan di tempat ibadah, sering kali ditemui, toilet yang tak dibilas dan kotor. Pasca seseorang yang menggunakannya. Orang seperti ini yang tak beradab, tak bertanggungjawab. Habis buang sepah, se-sepah-sepahnya biologis, dibiarkan saja memenuhi lubang leher angsa dengan aroma dan isi tak sedap. Membuat jijik yang datang kemudian. Entah sebab macet bilasan atau tak ada air. Atau karena memang sudah habitus tak beradab. Entahlah.