Sehingga dalam postur APBD tampak terdapat selisih kurang antara pos pendapatan daerah dengan belanja daerah.
“Untuk mewujudkan anggaran berimbang, maka dalam Pos Pembiayaan ditentukan nilai angka yang besarannya sama dengan besaran selisih kurang itu, yang menunjukan upaya daerah untuk mengatasi defisit ini,” jelas Djamu.
Namun isu krusial yang muncul di KBB, kata dia, tampak bukan defisit dalam arti seperti itu, tetapi lebih ke persoalan teknis yang menunjukan kinerja Pemda KBB dalam mengelola keuangan Daerah.
Baca Juga:Apakah Boleh Memakai Headset Setiap Hari? Simak Cara Menggunakan Headset agar Tidak Merusak TelingaTak Mau Kalah, Xiaomi Luncurkan Ponsel Layar Lipat, Begini Spesifikasi Xiaomi Mix Fold 2
“Sebenarnya hal seperti ini bukan hanya terjadi di KBB saja, hampir di seluruh daerah mengalami hal yang sama, hanya saja mungkin bobotnya berbeda. Hal ini terjadi sebagai dampak pandemi Covid-19 yang konsekwensinya berdampak pula pada sektor perekonomian daerah,” ungkapnya.
Terlebih belakangan ini, lanjut Djamu, kenaikan harga berbagai komoditas yang sulit terkendali. Sehingga makna defisit ini diartikan realisasi anggaran yang tidak sesuai dengan target yang ditentukan.
“Artinya secara teknis bahwa posisi Kas atau dana yang ada di Kas Umum Daerah (BJB) tidak mencukupi untuk membiayai belanja daerah sesuai dengan satuan waktu yang ditentukan, sebagaimana ditetapkan pada APBD 2022 yang diperinci lebih jauh dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) masing-masing SKPD,” terangnya.
Disisi lain, kata dia, yang membedakan KBB dengan daerah lain, adalah setiap persoalan apapun selalu mencuat di ruang publik.
“Sebenarnya banyak masyarakat terutama kelompok kepentingan yang kurang paham terhadap persoalan yang bersifat substantif. Akhirnya yang diperhatikan hanya wacana dan retorika pihak yang menyampaikan statemen di media. Pada saat terjadi polemik akhirnya menjadi gaduh, sehingga memunculkan isu liar yang menggiring opini negatif,” paparnya.
Djamu mengaku khawatir jika isu defisit dalam arti sempit dan teknis itu sulit dikendalikan. Hal ini dapat memunculkan ekses “Saling Tuding” antar Pemda dan DPRD KBB yang berkaitan dengan “sense of Crisis”.
“Karena di ruang terbatas muncul isu yang cukup menggelitik. Yaitu dalam kondisi apapun program DPRD terkesan tidak boleh diganggu. Kalau ditujukan kesatu pihak, bisa dikatakan tidak “fair”, karena tidak menutup kemungkinan dari pihak Pemda pun masih ada spirit ego sektoral atau kepentingan tertentu,” ujarnya.(sep)