Pojokan 116
Sebut saja Pak Made, supir mobil rental di Bali. Usianya sudah kepala 60 an. Saya menaruh hormat kepada beliau. Pada sikap pengendalian dirinya yang kuat. Ditengah macetnya jalanan menuju bandara, dia memberikan jalan kepada pengendara lain yang ada di depannya. Padahal kendaraan Pak Made memiliki kesempatan yang lebih untuk menggunakan jalurnya.
Obrolan gayeng pun terjadi sepanjang perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai. Penilaian pengendalian diri yang kuat terhadap Pak Made sebenarnya datang dari Prof Hariyono, salah seorang narasumber Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Kebetulan saya menemani Prof. Hariyono sepulang kegiatan di Uluwatu, Bali, minggu lalu. Tidak berlebih jika melihat cara Pak Made menyupir. Tenang dan tidak grasa-grusu. Dan memberi kesempatan kepada pengendara yang lain, untuk berbagi jalan. “Toh bedanya tidak jauh, ketika kita memberi jalan kepada yang lain. Nanti juga tersusul di perempatan lampu merah,” begitu kata Pak Made. Saya bisa menilai Pak Made adalah pengamal Pancasila dan pemeluk agama yang taat.
Obrolan ringan berbagai isu yang sedang hangat dan viral di televisi atau media sosial menjadi menu kehangatan sepanjang perjalanan. Isu-isu sosial yang tak dibahas dengan busa-busa akademik. Mengalir menjadi cakap angin sepanjang perjalanan. Salah satunya soal diksi pengendalian diri Pak Made itu.
Baca Juga:Harpelnas, BPJamsostek Ajak Peserta Manfaatkan JMOSampah Menumpuk di Pasar Terminal Subang, Keterbatasan Armada jadi Alasan Klasik
Sebuah sikap yang dalam peribahasa Jawa disebut “menep”. Peribahasa yang menunjukkan sikap tidak ikut keruh pada air yang keruh. Membiarkan kekeruhan itu mengendap sendiri dan tidak membuat semakin keruh air yang sudah keruh. Walau kadang banyak juga yang sengaja membuat keruh agar bisa mengambil untung dari air yang keruh. Alias “ngobok-ngobok”. Percis seperti peribahasa “menangguk di air keruh” atau “memancing di air keruh”. Peribahasa yang ditujukan kepada orang yang mencari keuntungan dari keadaan yang kacau. Bahkan kadang “bercermin di air keruh”, alias meneladani perilaku tak adab.
Jika mengaca kepada berbagai peristiwa yang viral di berbagai kanal berita dan media sosial, peribahasa tersebut, terasa benar adanya. Setiap peristiwa selalu semakin keruh dan entah kemana ujungnya. Karena semua ikut memberi pandangan dalam perspektifnya yang kadang dipaksakan.