Apakah minyak merah akan bisa menembus pasar yang didominasi aroma harum minyak goreng?
Dari harganya yang ”hanya” Rp 15.000 /liter harusnya bisa. Hanya selisih sekitar Rp 3.000 dari minyak goreng sawit. Tapi soal aroma gorengan tadi soal yang sangat besar. Sehat bisa kalah dengan enak. Khasiat bisa kalah dengan selera.
Kita biasa pilih sakit tapi enak daripada sehat tapi kurang enak.
Mengapa baru dua tahun lalu Donald memulai penelitiannya?
Baca Juga:Ridwan Kamil Bantu Pengobatan Warga DepokDanseskoau Hadiri Farewell Party Perwira Siswa Negara Sahabat
Itulah sisi baik pandemi Covid-19. Selama Covid penjualan vitamin E dan A meningkat drastis. Padahal harganya mahal. Kenapa tidak memanfaatkan kandungan vitamin dalam sawit yang sudah lama ia ketahui. Jadilah minyak merah itu.
Maka kalau saja minyak merah bisa memasyarakat –bisa seluas minyak goreng– alangkah sehatnya masyarakat kita. Imunitas masyarakat bisa naik dengan sendirinya. Tentu kalau cara menggorengnya juga benar: jangan dipanaskan melebihi 160 derajat Celsius. Sehebat olive oil pun tidak berguna kalau diperlakukan seperti itu.
Siapa yang akan memproduksi minyak merah itu?
“Karena prosesnya sederhana, koperasi bisa melakukannya. Atau UMKM. Jangan sampai diproduksi pengusaha besar.
Investasinya hanya sekitar Rp 1,5 miliar per unit produksi,” ujar Donald.
Itu untuk unit dengan kapasitas 1 ton/hari. “Kalau pun daya serap pasarnya bagus lebih baik melibatkan banyak koperasi atau UMKM untuk memproduksinya. Jangan hanya satu-dua pabrik besar,” katanya.
Bahan baku minyak merah ini sama dengan minyak goreng: CPO. Tapi kalau koperasi atau UMKM yang memproduksi bisa jadi akan kesulitan memasarkannya. Memasarkan minyak merah tidak mudah. Perlu perjuangan khusus. Sebagai produk baru dengan aroma baru bisa saja minyak merah dianggap aneh. Lalu terjadi penolakan di masyarakat.
Sasaran pasar minyak merah haruslah orang yang sadar kesehatan dulu. Itu berarti kelas menengah ke atas. Tahap berikutnya barulah turun ke kelas di bawahnya.
Bisa saja koperasi atau UMKM yang memproduksi tapi penjualannya harus ditangani perusahaan marketing yang hebat. BPDPKS bisa turun tangan menemukan off taker dan ditributornya.
Baca Juga:Perda APBD Perubahan Jabar 2022 DisahkanJadi Prioritas DPMD Provinsi Jabar, Tidak Ada Lagi Desa Tertinggal di Jawa Barat
Sayang sekali kalau BPDPKS yang sudah berhasil mendanai penelitian itu hanya berhenti di situ. Lihatlah kandungan vitamin E/ppm-nya. Bandingkan dengan minyak apa pun. Minyak merahlah yang tertinggi. Mengalahkan minyak jagung, minyak bunga matahari, apalagi olive oil. Demikian juga kandungan provitamin A-nya (lihat grafik).