SAYA selalu ingat Mangindaan. Khususnya terkait dengan tragedi stadion Kanjuruhan Malang. Yakni ketika pangkat E.E. Mangindaan masih kolonel. Jabatannya masih komandan Korem Surabaya. Ia tentara yang cinta sepak bola, luar dalam.
Ia tidak menggunakan sepak bola untuk pansos. Darah dagingnya memang sepak bola. Ia menghayati pemain bola itu kebanyakan dari keluarga miskin. Ia juga tahu persis bagaimana orang itu kalau sudah gila bola. Mereka bisa menggadaikan celana untuk menonton bola. Juga bisa mencegat truk untuk menuju stadion secara gratis. Kadang truk itu ternyata berbelok ke arah lain. Lalu cari truk berikutnya.
Hari itu Persebaya lawan PSM Makassar. Di Stadion 10 November Surabaya. Itu mirip Persebaya vs Arema sekarang.
Baca Juga:Cara Cek Kuota Internet dengan Mudah, Telkomsel Indosat atau Provider LainProdi Linguistik Pascasarjana UPI Ajak Masyarakat Bijak Berbahasa, Hindari Pidana
Pintu stadion jebol. Tempat duduk tidak cukup. Antara tribun dan pagar lapangan padat dengan penonton dadakan. Barisan paling depan menempel di pagar. Di sekeliling lapangan. Pagar pun doyong. Desakan dari penonton yang baru masuk membuat yang di depan terjepit antara pagar dan desakan dari belakang.
Gawat.
Sebagai Danrem, Mangindaan harus bertanggung jawab soal keamanan. Waktu itu TNI AD masih saudara tua di jajaran keamanan. Tapi ia tenang saja. Ia tahu psikologi penonton bola: tidak bisa dilawan dengan kasar. Solidaritas mereka amat tinggi.
Mangindaan sangat tenang. Wajahnya tidak tegang. Saya di sampingnya.
Ia pun melakukan apa yang tidak saya pikirkan sama sekali: ia ke tengah lapangan. Ia membawa mikrofon. Ia mulai bicara pakai bahasa Suroboyoan, lucu, dengan logat Manadonya.
“Saya senang melihat kalian sangat antusias hari ini. Tapi pagar keliling lapangan ini, kalau roboh, kalian bisa celaka. Maka dengarkan perintah saya ini: tolong, pagar itu pelan-pelan kalian robohkan. Pelan-pelan. Hati-hati. Lalu kalian yang di depan duduklah di atas pagar yang sudah kalian robohkan itu. Kalian duduk di situ. Jangan berdiri. Ikut komando saya. Pelan-pelan. Satu….. Dua…. Tigaaaa…. (ia mengucapkan komando dengan tersenyum dan nadanya lambat)”.
Maka robohlah pagar itu. Roboh dengan tertib. Penonton pun bersorak gembira. Mereka duduk di atas robohan pagar jeruji besi itu.