Pun lupa mengasah kepekaan spiritual. Agama diajarkan hanya sebuah praktek ritual tanpa makna. Yang mendakukan “aku yang paling benar”. Menjauhkan pemaknaan bahwa Sang Khalik bisa dalam berbagai wujud kebaikan tanpa diembel-embeli label sektarian agama, paham atau golongan. Esensi beragama adalah menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sehingga bisa melihat bahwa yang lain adalah saudara yang harus dihormati, ditemani dan digauli sebagai sesama. Tanpa membedakan, apalagi membenci karena berbeda dalam teologi dan paham.
Nadiem memiliki modal. Kewenangan untuk melahirkan kebijakan dan lebih dari 4 juta guru di seluruh jenjang pendidikan adalah modalnya. Mendorong para guru tidak hanya sebagai penghantar pengetahuan. Guru adalah bagian dari perekayasa sosial di cluster pendidikan. Untuk merekayasa dalam menajamkan kepekaan lingkungan dan kepekaan kebangsaan/nasionalisme 44 juta siswa. Ketakpedulian siswa terhadap nilai kebangsaan bisa jadi karena tak ada kesempatan mereka untuk bertemu, dipertemukan, dan ditunjukkan adanya perbedaan. Dan bersikap positif atas perbedaan itu. Perbedaan yang menjadi kekayaan budaya, suku, bahasa yang tak ada bandingannya. Perbedaan yang justru menjadi satu dan menyatukan menjadi sebangsa dan setanah air. Sekolah menjadi wahana untuk mewariskan empat kepekaan. Bukan terus melanggengkan dan membiarkan tiga dosa yang masih terus terulang.(*)
OLEH: Kang Marbawi