Penafsiran ini, bisa jadi melampaui buah toleransi. Mendorong pemaknaan implementasi ajaran agama tidak hanya pada ritual dan simbolisme agama. Menjadi nilai universale esensial semua ajaran agama untuk menghargai nilai kemanusiaan, keadilan dan mewujudkan kemaslahatan. Bukan berarti menyamakan semua agama. Sebab yang beda jangan disamakan. Dan yang sama jangan dibedakan. Menghargai keunikan yang beda adalah bagian dari sikap adil.
Kadang simbol menjadi pertarungan antar pemeluk untuk berebut klaim benar yang beda sudut pandang. Pertarungan yang merelakan pengorbanan apapun. Pun sekedar fanatisme terhadap pemegang klaim benar itu. Perjuangan untuk symbol, menjadi branding. Substansi disimpan dipojokan. Seolah memerjuangkan simbol dan paham adalah simbol perjuangan kebenaran miliknya saja. Kebanaran yang absurd. Bukan kebenaran berlandaskan kemanusiaan, keadilan dan kemaslahatan. Sesiapapun yang berlandaskan kepada nilai kemanusiaan, keadilan dan kemaslahatan pasti ada di jalan yang benar.Dan tidak peduli dengan simbol agama, paham atau macam apapun sektarian.Walau sebagai penganut dan individu memastikan diri untuk beragama yang tak simbolis dan ritualis. (*)
OLEH: Kang Marbawi