Semua bisa berdiri atas nama eksistensi dirinya. Mendeklarasikan kebebasan semu dalam ekspresi status dan postingan. Seolah tak berbekas kepada yang lain dan diri.
Postingan yang menjadi anak panah sekaligus bisa menjadi boomerang (dark fire) untuk diri sendiri. Meninggalkan jejak digital yang tak terhapus, seperti pahatan.
Saya cuma bisa menekankan nasehat, untuk berhati-hati dan tidak mengikuti ketakberadaban itu. Menangkup kesadaran diri, tak bisa selalu masuk dalam ruang gelap medsos anak-anak saya.
Baca Juga:Innalillahiwainnailaihirajiun, LORD RANGGA Meninggal Dunia Hari Ini, Ini PenyebabnyaBREAKING NEWS! Dugaan Bom Bunuh Diri di Polsek Astana Anyar Bandung Hari Ini, Tulisan ISIS di Motor Pelaku
Pun ruang gelap di medsos yang juga saya ikuti. Ruang gelap medsos itu hanya bisa diterangi oleh asketisme diri untuk tak menyandu serta bijak bermedsos.
Namun, ruang maya yang gelap itu, punya password. Password itu dipegang anak-anak. Dan harus berjuang keras untuk bisa mendapatkan password itu. Karena jarang sekali anak-anak dengan rela untuk memberikan password HPnya.
Ruang gelap itu, lebih berpengaruh dari pada orang tua atau gurunya. Interaksinya pun lebih intens dari pada dengan saya orang tuanya.
Entahlah, ruang maya yang gelap itu, memberikan kenikmatan yang tak kasat mata. Kenikmatan melihat postingan dari aktivitas maya orang lain. Yang kadang tak penting dan tak ada kaitannya.
Dan kita selalu tergoda untuk khusu’ hingga lupa waktu berada di ruang gelap itu. Hingga lupa diri. (Kang Marbawi, 071222)