Pojokan 131, Gelisah
Padahal membuang sampah adalah sebuah hal yang sederhana. Seperti sang surya bersinar dari ufuk timur dan kembali ke peraduan di ufuk barat.
Gelisah itu muncul seperti matari diufuk timur.
Secercah, membuncah dan kemudian terang benderang. Gelisah untuk sesuatu yang tak bisa dicapai, dalam keterbatasan.
Melahirkan kecemasan dan galau hati. Gelisah karena tak terlampahinya, Palemahan, hubungan mesra manusia dengan lingkungannya (hifdz bi’ah).
Tak terlampahinya Palemahan, memengaruhi Pawongan, jalinan sesama (hab min annas).
Baca Juga:17 Bot Stiker WA 2022, Lengkap LINK Membuat Stiker WA Gratis di Sini!Cara Mempromosikan Produk, Secara Lisan dan Online, Ampuh untuk Bisnis Tahun 2023, Klik Ini
Sehingga tak berarti ritual kepada Yang Kuasa (Pahyangan/hab min Allah), kala tak memuliakan manusia dan lingkungan. Seperti yang disebut dalam Tri Hita Karana.
Gelisah ketika konon para supporter Jepang memungut sampah di stadion pada gelaran Piala Dunia 2022 Qatar. Seolah memungut emas yang berharga.
Pendidikan seperti apa yang bisa melahirkan orang-orang yang bisa menghargai sampah? Memuliakan sampah adalah gambaran harga diri, tanggungjawab dan kesadaran untuk daur ulang kehidupan.
Keberlangsungan hidup manusia.
Sejatinya sampah bisa mengasah kepekaan nurani dan nalar. Kepekaan terhadap lingkungan, sosial dan spiritual. Juga kepekaan sebagai bangsa.
Pendidikan bisa jadi tak semata membuat orang sepintar Albert Einstein atau Habibi, Presiden ke 3 Repiblik Indonesia atau siapapun.
Pendidikan sejatinya untuk mengasah kepekaan. Kepekaan yang melahirkan kegelisahan. Kegelisahan pada apa yang mengganggu nilai kemanusiaan, keadilan, nalar dan nurani.
Andai kita memiliki kegelisahan yang melahirkan gerak untuk memungut sampah atau menghargai sampah dan dimuliakan pada tempatnya yang baik dan benar, mungkin kita tidak menjadi paradoks harmoni kehidupan. (Kang Marbawi, 211222)