KARAWANG-Tuntutan revisi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disuarakan organisasi kepala desa, salah satunya tentang penambahan jabatan kepala desa menjadi 9 tahun bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Wacana revisi UU Desa tersebut, menuai beragam tanggapan. Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (Pustaka) menilai, jika ada revisi UU Desa tentang penambahan masa jabatan DPR harus mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi.
Direktur Pustaka, Dian Suryana mengatakan, dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, sangat jelas dikatakan bahwa jabatan kades 6 tahun. Selain itu, diberi kesempatan sampai 3 kali periode. Pembatasan tersebut supaya ada kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa.
“Ratio decidendi Putusan MK tersebut, selain secara hukum bersifat final dan mengikat, menurut saya masuk akal. Data KPK dari 2012 hingga 2021, ada 686 kades dan aparatur desa terjerat korupsi. Sederhananya, dengan dibatasi 6 tahun saja banyak yang terjerat korupsi apalagi dengan diperpanjang. Putusan MK dan realitas banyaknya kades terjerat korupsi tersebut harus menjadi pertimbangan DPR dalam revisi UU Desa nanti,” katanya.
Baca Juga:Dari 25.000 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Hanya 4.500 TersertifikasiPetani Karawang Geruduk Kantor Bupati dan DPRD
Dijelaskan Dian, hematnya dalam wacana revisi UU Desa tidak hanya berfokus pada masalah perpanjangan masa jabatan, akan tetapi hal yang sangat krusial seperti fenomena politik uang (money politic), pada saat pemilihan kepala desa (Pilkades). Ditegaskannya, maraknya fenomena politik uang saat Pilkades menjadi salah satu penyebab cost politic calon kades menjadi besar. Secara tidak langsung menjadi beban ketika calon kepala desa terpilih saat menjabat, sehingga memperbesar peluang potensi korupsi.
“Praktik politik uang di Pilkades harus disikapi serius. Supaya kualitas pesta demokrasi di tingkatan desa lebih bermartabat,” katanya.
Fenomena money politic saat Pilkades, kata dia, menjadi marak, lantaran tidak ada aturan yang secara tegas (lex stricta) dan jelas (lex certa) mengatur soal perbuatan tersebut. Pasal 149 KUHP lama tidak bisa digunakan sebagai landasan yuridis untuk menjerat pelaku money politic di Pilkades. Selain sudah ada pembaharuan KUHP, aturan tersebut tidak secara jelas dan tegas mengatur perbuatan money politic di Pilkades.