PASUNDAN EKSPRES – Situasi di Sudan semakin memburuk setelah perebutan kekuasaan yang brutal antara militer dan paramiliter yang kuat pecah pada 15 April 2023. Kedua kekuatan ini dipimpin oleh dua jenderal yang dulunya adalah sekutu dalam menggulingkan pemerintahan otoriter di negara itu.
Meningkatnya korban tewas akibat konflik di Sudan menjadi lebih dari 420 orang, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada Senin, kedua pihak yang bertikai dilaporkan sepakat untuk gencatan senjata selama 72 jam, meskipun tiga upaya gencatan senjata sebelumnya gagal dilaksanakan.
Angkatan Bersenjata Sudan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau dikenal sebagai Hemedti terlibat dalam bentrokan di Sudan.
Baca Juga:Tips Terbaik untuk Membuat Iklan Facebook yang EfektifCara Menggunakan Facebook Ads untuk Peningkatan Traffic Website
Pasukan Dukungan Cepat (RSF) adalah pasukan paramiliter yang dibentuk oleh mantan pemimpin Sudan, Omar al-Bashir, dan berasal dari milisi Janjaweed yang dikenal brutal dalam menumpas protes kelompok non-Arab yang menolak kepemimpinan Bashir.
Sebelum konflik terbaru ini, kedua pemimpin kekuatan ini dulunya adalah sekutu. Mereka bekerja sama pada tahun 2019 untuk menggulingkan diktator brutal Sudan, Omar al-Bashir, yang memerintah negara tersebut selama tiga dekade, ketika ribuan orang turun ke jalan dalam pemberontakan rakyat melawan al-Bashir.
Setelah kudeta itu, terbentuk pemerintahan pembagian kekuasaan yang terdiri dari kelompok sipil dan militer. Rencananya adalah menjalankan Sudan selama beberapa tahun dan mengawasi transisi ke pemerintahan yang sepenuhnya dikelola oleh sipil.
Mengapa Terjadi Konflik Terbaru di Sudan?
Pada 2021, al-Burhan yang menjadi Ketua Dewan Transisi Militer Sudan setelah kudeta terhadap al-Bashir, membubarkan pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang didukung oleh para demonstran pro-demokrasi. Al-Burhan kemudian membentuk pemerintahan baru yang terdiri dari militer dan beberapa politisi sipil, namun hal ini menimbulkan ketegangan dan protes dari para demonstran yang menuntut pemerintahan yang sepenuhnya dikelola oleh sipil.
Kelompok paramiliter RSF, yang dipimpin oleh Hemedti, juga menjadi bagian dari pemerintahan baru yang dibentuk oleh al-Burhan. Namun, mereka dituduh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap para demonstran. Ketegangan antara militer dan paramiliter ini memuncak pada konflik terbaru yang mengakibatkan bentrokan bersenjata antara Angkatan Bersenjata Sudann dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF).