Pojokan 151, Ono

Pojokan 151, Ono
Pojokan 151, Ono
0 Komentar

Persoalan pun muncul, karena dia tak tahu bagaimana cara mengadakan persyaratan tersebut.

Karena Ono tak berpunya lebih. Koneksi politik atau pengusaha tentu tak ada. Ono hanya punya koneksi dengan “Yang Murbeng Alam”.

Jadilah Ono mengajukan proposal soal persyaratan itu kepada Hyang Widi, Gusti Allah, di tengah malam.

Baca Juga:Topik Pembicaraan WA Agar Tidak Bosan, Bikin Ngobrol Makin Seru!Hotel Dekat Alun Alun Bandung Murah, Lengkap 10 Hotel di Bandung Kota Harga Terjangkau

Sebab konon katanya, kalau malam, koneksinya lebih cespleng tanpa gangguan.”Sinyalnya kuat”, begitu kata kiai kampung.

Syariatnya, Ono mengajukan proposal verbal pinjam sana-sini.

Dan ternyata proposalnya banyak yang menyambut.

Jadilah anaknya menjadi pamong desa, dengan dasar proposal pinjaman.

Jumlahnya lumayan, untuk ukuran Ono.
“Alhamdulillah sudah saya lunasi”, kata Ono dengan syukur di wajah polosnya yang terbakar matahari.

Ono, petani sederhana.

Tak mengerti suap, tak mengerti politik, tak mengerti cara berdoa berbahasa arab, juga tak punya sumber daya yang mumpuni.

Hanya cara berpikir sederhana dan tidak neko-neko.

Koneksi kepada Gusti Allah pun tak sesoleh dan sehebat para ustadz apalagi ulama. Ono hanya jama’ah biasa.

Warga Nahdlatul Ulama (NU, dalam ubudiyah bukan NU struktural) biasa.

Setiap dari kita punya peran dan aktualisasi yang berbeda.

Namun ada konektivitas dan kesamaan isu yang bisa jadi sama dengan Ono.

Dengan segala sumber daya yang ada, tentunya kita akan memaksimalkan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan dan pemenuhan kebutuhan.

Bahkan dengan cara yang tak patut untuk mengejar nafsu hedonis dan kepuasan. Kita memang tidak bisa disamakan dengan Ono.

Baca Juga:Rp1,02 Triliun Dana Stimulan Masuk Rekening Korban Gempa CianjurCara Kocok Arisan Online Tanpa Aplikasi, dengan Cepat dan Aman

Apalagi Ono tak mungkin bisa sama dengan kita. Namun saya belajar dari Ono, tentang cara dia mengajukan proposal dan kesederhanaannya dalam menyikapi hidup.

Juga heran dengan soal mahar yang ternyata sudah jadi budaya sejak dari pemerintahan desa. (Kang Marbawi, 10.05.23)

0 Komentar