PASUNDAN EKSPRES – Betapa kuat kita terikat kepada kebendaan.
Malam itu, saya berziarah ke maqbaroh Mbah Manaf, Lirboyo Kediri, Jawa Timur.
Sebelumnya saya juga sowan ke maqbaroh Mbah Hasyim Asy’ari dan Gus Dur di Tebuireng-Jombang.
Juga masyayikh sesepuh beberapa pesantren lainnya.
Seperti makam-makam para masyayikh lainnya, tempat “pesarean” tokoh besar ini, tak pernah sepi peziarah.
Baca Juga:Easy Cash Apakah Aman? Katanya Ga Ada DC Lapangan, Cek di SiniCara Bikin Stiker WA yang Mudah dan Praktis Tanpa Aplikasi Tambahan, Mudah Bingits
Bahkan 24 jam, tak pernah putus. Masyarakat dan terutama santri, tak henti melafal bermacam corak lafadz mulia.
Baik hening atau hingar bingar.
Bahkan para santri, mereka melafal ulang pelajaran kitab kuning di depan maqbaroh.
Kadang dalam satu waktu, datang beberapa rombongan susul menyusul.
Suara lafal munazat jama’ah yang sahut menyahut antar rombongan menjadi irama dalam jalinan syahdu keterpautan peziarah dengan maqbaroh.
Tak saling merasa terganggu atau diganggu dengan suara dan lafadz.
Peziarah biasa seperti saya ini, hanya tahu bahwa ziarah adalah mencari “keberkahan”.
Sesuatu yang tak bisa diterima oleh rasionalitas tertentu.
Sebagian orang tak melihat “jembatan” yang menghubungkan antara peziarah dengan orang yang sudah wafat.
Pun menurut mereka, putus sudah urusan komunikasi, manakala salah satu telah sampai batas waktu.
Apalagi ada signal “berkah” yang masih terus menghubungkan antara penghuni maqbaroh dengan peziarah.
“Hal yang irrasional”, kata kaum rasional.
Baca Juga:20 Minuman Terenak di Dunia, Menjelajahi Nikmat yang Tak Tergantikan, Nomor 9 Sering Ditemukan!Kapan Sebaiknya Minum Susu Prenagen Esensis? Ternyata Begini Manfaat dan Kekurangannya
Orang awam seperti saya kadang memerlukan “tembok” untuk bersandar. Bersandar dari rasa lemah diri menjalani lakon sandiwara di mayapada.
“Kami setiap hari berperang dengan diri kami sendiri, orang lain dan dengan kehidupan”.
Telah banyak korban yang berjatuhan. Dan diantara korban itu adalah kami.
Bisa jadi ada orang lain yang menjadi korban kami.
Atau terpaksa ada yang dikorbankan demi kami, karena kami, atau justru kami yang jadi korban.
Entahlah, apakah “tembok” itu adalah ziarah dan maqbaroh, saya sendiri tak peduli.
Karena hidup bagi saya adalah peluang untuk mengangsu kesempatan dan harapan. Pun menerima taqdir dan tobat.
Sebab hidup diawali dengan perjanjian dengan Tuhan dan kadang diakhiri dengan perjanjingan dengan iblis.