Sebaliknya, yang tak suka kepada Beliau, caci maki se-dasar ampas kerak kebencian, akan terhunjam keras, menusuk ulu hati. Dan itu biasa dalam kehidupan.
Selalu ada dua sisi yang berseberangan.
Tak ada yang satu sisi utuh murni.
Selalu ada sisi yang berlawanan, seperti siang dan malam, panas dan dingin serta lainnya.
Tahun ini dan tahun depan adalah masa-masa akhir kepemimpinannya.
Beliau harus mengantarkan transisi kepemimpinan dengan damai dan bertumpu pada Ideologi Pancasila.
Baca Juga:Deretan Daftar Tempat Wisata di Subang yang Lagi Hits di Tahun 2023Selain Julo, Inilah Cara Mudah Mengajukan Pinjaman Online 1 Juta
Di pundak beliau yang ringkih dengan tonjolan tulang belikatnya, transisi itu harus diantarkan.
Transisi yang mengail kepentingan banyak pihak.
Semua berhak, merasa pantas, berancang-ancang dan mengunduh dukungan dari sana-sini.
Segala strategi untuk memantaskan diri sebagai calon pengganti ditandaskan.
Segala cara dilakukan. Segala amunisi dilemparkan.
Dan politik identitas menjadi bagian yang ditebarkan.
Jokowi sadar, Indonesia kaya dengan keragaman identitas.
Identitas adalah jati diri dari setiap anak bangsa yang ada di kolong langit.
Bangsa Indonesia berdiri di atas 1.340 identitas suku bangsa.
Yang rela untuk melebur menjadi SATU.
Satu Bangsa dan Satu Bahasa.
Menjadi ke-Ika-an yang utuh.
Menjadi Indonesia yang Satu.
Namun ke-Ika-an itu harus selalu diperjuangkan dan dirawat.
Jokowi dihadapkan pada polarisasi dan penggunaan politik identitas.
Identitas yang dipolitisasi untuk kepentingan politik dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden.
Maka tegas Beliau berpesan dalam amanat Harlah Pancasila 1 Juni 2023 lalu, menolak politisasi identitas dan politisasi agama.
Tak lupa mengajak untuk menyambut pesta demokrasi dengan kedewasaan dan suka cita dengan memegang teguh Pancasila.
Saya di belakang Presiden. Hanya 10 meter! (Kang Marbawi, 03.06.23)