Arti Peringatan Darurat Indonesia! Putusan MK Membawa Bencana 98!

Arti Peringatan Darurat Indonesia! Putusan MK Membawa Bencana 98!
Arti Peringatan Darurat Indonesia! Putusan MK Membawa Bencana 98!
0 Komentar

PASUNDAN EKSPRES – Akhir-akhir ini, simbol Garuda Pancasila berlatar belakang biru dengan tulisan “Peringatan Darurat” semakin marak terlihat di berbagai platform media sosial. Unggahan ini tidak hanya muncul sebagai bentuk ekspresi, tetapi juga disertai dengan tagar #KawalPutusanMK dan #KawalDemokrasi yang menunjukkan keresahan dan kekhawatiran banyak pihak terhadap situasi politik terkini di Indonesia.

Pada hari Kamis, 22 Agustus 2024, berbagai elemen masyarakat berencana menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Aksi ini tidak hanya akan terjadi di ibu kota, tetapi juga di berbagai kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung. Keadaan ini menunjukkan bahwa peringatan tersebut telah memicu reaksi luas dari masyarakat yang merasa aspirasinya terancam oleh keputusan politik yang dinilai tidak konstitusional.

Latar Belakang Peringatan Darurat

Menurut informasi yang dilansir dari Kompas.com pada Rabu, 21 Agustus 2024, simbol Garuda Pancasila dengan tulisan “Peringatan Darurat” yang viral di media sosial tersebut awalnya berasal dari tangkapan layar tayangan analog horor buatan EAS Indonesia Concept. Tayangan ini, yang seharusnya bersifat fiksi, justru menjadi representasi dari keresahan publik terhadap dinamika politik yang sedang terjadi.

Baca Juga:Gerakan Pro Rakyat! Suara Masyarakat Menggema di Depan DPRPutusan MK Membawa Indonesia ke Arah Otoritarianisme! Tokoh Penting '98 dan Mahasiswa Kawal Putusan MK!

Banyak warganet yang mulai membagikan gambar ini sebagai bentuk protes setelah DPR RI dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Hal ini terkait dengan keputusan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.

Tindakan Inkonsistensial DPR dan Dampaknya

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dikritik karena merancang revisi UU Pilkada yang dinilai sebagai bentuk pembangkangan terhadap dua putusan MK sebelumnya. Pertama, DPR mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya, padahal MK sudah memutuskan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, DPR mengusulkan perubahan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan, yang bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa perhitungan usia harus dilakukan saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Menurut Oce Madril, seorang ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), putusan MK bersifat final dan tidak dapat dibatalkan oleh lembaga manapun, termasuk DPR. Dengan kata lain, putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua pihak tanpa terkecuali.

0 Komentar