Gaya “Total Football” yang ia bawa dari Belanda mungkin terdengar romantis, tetapi penerapannya di Asia Tenggara bukanlah perkara mudah.
Sepak bola di wilayah ini lebih didominasi oleh fisik, transisi cepat, dan permainan pragmatis.
Menerapkan filosofi yang membutuhkan kecerdasan taktik tinggi dan eksekusi presisi mungkin menjadi tantangan besar bagi pemain-pemain Indonesia yang terbiasa dengan ritme yang berbeda.
Baca Juga:Pj Bupati Subang Pimpin Rapat Simulasi SIMBG, Dorong Program 3 Juta RumahPuskesmas Kasomalang Bersama Pemdes Kasomalang Wetan Giat Pencegahan Jentik Nyamuk
Kluivert juga perlu memahami karakter pemain Indonesia yang cenderung lebih eksplosif di sisi sayap ketimbang penguasaan bola di tengah.
Jika ia memaksakan gaya permainan yang tidak sesuai dengan karakteristik tim, maka seluruh sistem yang dibangun akan runtuh.
Sejarah telah membuktikan bahwa nama besar tidak menjamin kesuksesan. Clarence Seedorf misalnha tenggelam bersama Kamerun, dan kini Indonesia seolah ingin mengulangi kesalahan serupa-jika tidak dibuat strategi matang.
Alih-alih menunjuk pelatih yang memahami budaya sepak bola lokal dan memiliki rekam jejak membangun tim dari nol, federasi memilih jalan pintas yang penuh risiko
Jika Kluivert tidak segera menunjukkan hasil nyata, maka pengangkatannya tidak akan menjadi langkah maju, melainkan sekadar sandiwara yang membuang waktu, tenaga, dan harapan masyarakat.
Sepak bola Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar simbol; ia membutuhkan pemimpin yang mampu mengubah potensi menjadi prestasi.