SUBANG– Ketidakpastian penghasilan masih menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh para buruh pemetik teh di wilayah Kabupaten Subang.
Salah satunya dialami Dian Kujiana, seorang Bapak tangguh yang telah bekerja sebagai buruh pemetik teh selama lebih dari 10 tahun.
Meski telah mengabdikan diri dalam waktu yang cukup lama, ia mengaku penghasilannya hingga kini belum stabil dan tergantung dari banyak faktor.
Baca Juga:Koperasi Desa Merah Putih Resmi Diluncurkan, DKUPP: Masih Menunggu Petunjuk Teknis dari Pusat30.000 Orang Sambut Festival Budaya Nusantara, Ada Ogoh-ogoh, Reog, hingga Sisingaan
Dian sehari-hari bekerja di perkebunan teh yang hasil panennya dikirim ke Pabrik Teh Bukanagara.
Namun kini, pabrik tersebut sudah tidak lagi dikelola langsung oleh PTPN, melainkan telah beralih status menjadi Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT BMN.
“Sekarang sistemnya beda, bukan langsung dari PTPN. Sudah dikerjasamakan dengan PT BMN, jadi gaji juga bukan dari PTPN lagi,” ujar Dian saat ditemui Pasundan Ekspres (21/7/2025).
Sistem upah yang digunakan adalah sistem borongan, di mana para buruh dibayar berdasarkan banyaknya hasil panen teh kering yang dikumpulkan.
Harga borongan untuk 1 kilogram teh kering saat ini mencapai Rp650.000.
“Borongan teh itu tergantung hasil, jadi kalau cuaca bagus dan daun teh banyak, bisa lumayan. Tapi kalau hujan atau daun sedikit, penghasilan kecil,” kata Dian.
Ia mengungkapkan penghasilan para pemetik teh seperti dirinya tidak menentu dan sangat tergantung pada kondisi alam serta jumlah panen.
Bahkan terkadang hasil yang diperoleh tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi jika harus menunggu lama proses penimbangan dan pembayaran dari pihak pabrik.
Baca Juga:Soal Program Seragam Gratis, Bupati Subang Perintahkan Disdikbud untuk Siapkan Teknis PembagiannyaESI Subang Gelar Turnamen Playoff Mobile Legends, Siapkan Atlet Menuju PORPROV 2025
Selain soal penghasilan, Dian juga mengaku tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan secara memadai.
Sebagai buruh harian lepas yang bekerja dengan sistem borongan, ia tidak mendapat kepastian soal tunjangan kesehatan maupun hari tua.
“Kita kerja capek, kehujanan, kepanasan, tapi tetap saja susah. Harapannya sih ada perhatian dari pemerintah atau pihak perusahaan, jangan cuma mengandalkan tenaga kita tapi penghasilannya minim,” ucapnya dengan nada haru.(hdi)