Menyoal Aturan Rokok yang Dilematis

0 Komentar

Berdasarkan catatan Kementrian Perindustrian (Kemenperin), pendapatan negara dari IHT yang berasal dari cukai dan pajak rokok setiap tahunnya mengalami peningkatan. Seperti tahun 2016, kontribusi IHT terhadap pembayaran cukai mencapai Rp 138,69 triliun, atau 96,65 persen dari total cukai nasional. Dan untuk tahun 2019 setoran cukai dari produk rokok mencapai Rp 170 triliun. Sedang untuk tahun 2020 ini ditargetkan pendapatan dari cukai rokok bisa mencapai Rp 180 triliun (Liputan6.com, 03/10/2019).

Sebuah aturan yang kontradiktif. Meskipun dari data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa 21 persen dari total beban penyakit yang ditanggung BPJS berasal dari penyakit akibat konsumsi rokok seperti penyakit jantung iskemik, serebrovaskular, tuberculosis, diabetes dan penyakit pernafasan kronis, namun selama rokok masih dijadikan sebagai salah satu industri penting sepertinya masih akan tetap terlihat banyaknya rokok yang berdar dan dikonsumsi di tengah masyarakat. Ditambah lagi, rendahnya komitmen dari pemerintah dalam melaksanakan fungsinya dalam pengawasan aturan yang ada demi tegaknya pembatasan maupun larangan peredaran dan konsumsi rokok di tengah-tengah masyarakat.

Seperti inilah karakter dari sistem ekonomi neolib berbasis kapitalisme. Kebijakan yang didasarkan hanya atas keuntungan semata. Rakyat ditempatkan hanya sebagai objek untuk meraup keuntungan bagi para penguasa dan pemilik modal. Meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan bahaya merokok untuk kesehatan, baik bagi perokok itu sendiri maupun bagi orang disekitarnya, namun selama rokok masih bisa memberikan keuntungan bagi para kapitalis pemilik modal sepertinya suatu keniscayaan jika industri rokok tidak akan dilarang keberadaannya di negara ini.

Akan tetapi, berbeda halnya jika menurut Islam. Dalam Islam, sistem ekonominya dibangun berdasarkan aturan dari Sang Pencipta. Dan fungsi negara adalah pelayan serta pelindung bagi rakyatnya. Negara berkewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan hidup yang mendasar bagi rakyatnya, termasuk kesehatan didalamnya. Dan negara juga dilarang menempatkan rakyat sebagai objek untuk memberi keuntungan bagi negara.

Balik lagi ke masalah pembatasan dan pengaturan rokok. Jika negara memang menganggap rokok merupakan salah satu penyebab banyaknya masalah kesehatan bagi masyarakat, harusnya pemerintah dengan tegas membuat regulasi untuk menghentikan industri dan akses rokok ke masyarakat, sembari mengalihkan industri rokok berikut pekerjanya yang tidak sedikit jumlahnya ke industri lain yang lebih produktif. Dengan dijalankannya fungsi negara sebagai pelayan dan pelindung rakyat dalam sistem ekonomi Islam secara maksimal, maka suatu keniscayaan jika kesejahteraan seluruh rakyat akan tercapai dalam ridho Ilahi. Wallahu a’lam. (*)

0 Komentar