Dongkrak Perekonomian Warga Empat Desa
Warga dari empat desa di Kecamatan Plered, sudah sejak belasan tahun ini hidup dengan menafkahi keluarganya dari mengais rejeki, dengan cara mebelah bongkahan batu Gunung Aseupan. Cara itu merupakan usaha alternatif, setelah industri genteng yang sebelumnya ada, tak lagi menjadi jaminan bagi nafkah ratusan warga di sana.
Keempat warga desa yang dimaksud adalah, Desa Citeko, Desa Citeko kaler, Desa Liung Gunung dan Desa Linggarsari. Semuanya merupakan wilayah pedesaan yang berada di kaki Gunung Aseupan dalam wilayah kesatuan Kecamatan Plered.
Kepala Desa Citeko Kaler, Yaya Fahrudin, saat dikonfirmasi Pasundan Ekspres terkait aktivitas warga desanya yang menjadi buruh pembelah batu, tidak bisa memberikan jumlah pasti berapa warganya. Keseharian warganya aktif memilah lalu membelah kerasnya bongkahan batu.
“Kalau soal jumlah warga Desa Citeko Kaler, kami tak miliki data pasti. Tapi yang jelas lumayan banyak,” terang Yaya Fahrudin.
Ketika ditanya soal harga jual batu belah, dengan lancar Kades yang turut membuka warung makan dan minuman di tengah kesibukan warganya berusaha mencari nafkah itu sigap menjawab.
Menurutnya, transaksi jual batu belah, yang melibatkan ratusan warga dari tetangga desanya itu, sedikit banyak telah mendongkrak wilayah desanya. Kini rumah rumah gedung milik warga bermunculan, dan geliat ekonomipun terlihat bangkit.
“Kalau harga jual batu belah, perkubiknya Rp140 ribu. Itu harga di atas mobil kalau sudah dikirim ke tempat pemesan yang jaraknya cukup jauh, harga disesuaikan dengan biaya transport,” terang Yaya Fahrudin.
Biasanya, para mediator penjual batu belah mengarahkan para pembeli batu untuk langsung berhadapan dengan koperasi untuk penjualan partai besar. Seperti biasa, diangkut dengan truk tronton yang kapasitas daya angkutnya mencapai 24 ton.
Yang menarik adalah tatacara buruh pembelah batu di sana masih menggunakan cara cara tradisional. Menggunakan alat sederhana seperti tatah kecil, lalu martil ukuran sedang dan besar, serta seutas selang kecil yang digunakan untuk meniup abu batu yang menempel dan terkadang menutupi garis garis belah. “Warga menyebutnya urat batu,” katanya.