Oleh. Reni Tresnawati
Mimpi presiden untuk membangun ibu kota negara di Kalimantan Timur yang akan meniru London. Sepertinya tidak main-main, pemerintah merencanakan akan menyiapkan sebagai forest city. Oleh karena itu, ia akan meminta bantuan kepada asing dalam mengerjakan pembangunannya. Sebab, mereka dinilai sudah berpengalaman dibidangnya.
Namun, tentu dia harus waspada dalam memilih sosok-sosok yang benar-benar akan membawa ibu kota baru menjadi dunia, bukan sekedar mimpi. Mengingat, dari sosok-sosok tokoh yang digadangkan akan membantu proyek ini, sosok yang bermasalah. Tetapi, tampaknya jejak rekam para dewan pengarah ini, tidak menjadi soal bagi pemerintah, yang penting proyeknya berhasil sesuai mimpinya.
Keterlibatan asing dalam pembangunan ibu kota baru ini, sungguh disayangkan. Dengan adanya campur tangan asing dalam mengerjakan proyek ini, tentu akan merugikan Indonesia. Pertama, biaya untuk menggaji mereka pastilah cukup besar. Kedua, para dewan pengarah asing tidak mungkin mengiyakan begitu saja, kalau tidak ada perjanjian yang menguntungkan mereka. Ketiga, mempekerjakan dalam proyek ini biayanya dari mana? Haruskah berhutang lagi? Keempat, tidak adakah pemuda Indonesia yang mumpuni, sehingga proyek ini diserahkan ke asing?
Hidup dalam kapitalisme berazaskan manfaat. Untung rugi menjadi tolok ukurnya. Kapitalis sudah lama bercokol di Indonesia dan menguasai beberapa kekayaan Indonesia. Jika ibu kota jadi dipindahkan ke Kalimantan, tidak tertutup kemungkinan ini akan memberikan angin segar bagi aseng. Apalagi, proyek pembangunannya diserahkan kepada asing, untuk dikelola. Harusnya pemerintah belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.
Bisa jadi kepindahan ibu kota ke Kalimantan itu intervensi asing juga. Penjajahan politik ekonomi pun sudah terasa. Ditambah melihat Kalimantan Timur, prospeknya bagus bagi pertumbuhan ekonomi. Jika Indonesia sudah dikuasai asing, sedangkan pribumi menjadi budak asing di negeri sendiri. Itu tandanya hilanglah kedaulatan yang selama ini diagung-agungkan.
Bila dibandingkan antara kehidupan sistem kapitalis dengan sistem Islam (khilafah), sangat jauh sekali. Dalam kapitalis semua di ukur dengan azas manfaat, rakyat menderita tak dihiraukan, yang penting penguasa untung. Sedangkan, dalam Islam yang menjadi tolok ukurnya halal haram. Khilafah sangat memperdulikan kesejahteraan rakyatnya. Makanya, khilafah anti penjajahan, salah satunya diwujudkan dengan kebijakan waspada dan tegas dalam menjalin hubungan dengan asing. Wallahu’alam. (*)